[40] God Knows I've Tried

9.9K 594 16
                                    


40. God Knows I've Tried

  SETELAH mencoba membersihkan darah yang keluar dari hidungnya, Velma menghela nafasnya pelan. Darahnya tidak kunjung berhenti keluar, bahkan Dokter Naufal yang menungguinya diluar sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar mandi.

  "Bagaimana? Sudah bersih?"

  Kembali terdengar teriakan pria itu, Velma menyerah dan membuka pintu sambil terus membiarkan darahnya mengalir ke bawah sampai ke bibirnya.

  "Astaga," Dokter Naufal langsung mengambil posisi untuk membantu Velma mengeringkan darahnya. "Kalau tidak berhenti terus, kamu bisa kekurangan darah."

  Velma memejamkan matanya, sambil membiarkan Dokter Naufal memberikan tindakannya, ingin menjawab namun darahnya masih saja keluar dari hidungnya.

  "Rainata sudah kangen banget sama kamu,"

  Velma membuka matanya, ditatapnya Dokter Naufal yang masih serius dengan masalah mimisannya.

  "Dia emang tidak ingat apa-apa lagi... Tapi, semenjak ada kamu, dia jadi lebih bersemangat. Akhir-akhir ini dia sama loyo nya dengan kamu."

  Samar-samar, Dokter Naufal seperti tidak bersuara. Velma tidak mendengar apa-apa, hanya mulut Dokter Naufal yang bergerak namun tidak mengeluarkan suaranya, indera pendengarannya ada yang tidak beres atau memang Dokter Naufal sengaja.

  "Sudah, terasa lebih baik sekarang?"

  Velma mengernyit namun dapat merasakan kalau Dokter Naufal sudah melakukan tindakannya, "Dok... Kok suara Dokter gak kedengeran?"

  Hening, Dokter Naufal terlihat terdiam.

  "Kamu rutin meminum obatnya kan?"

  Tidak ada jawaban, padahal jarak antara Dokter Naufal dan Velma itu dekat. Kemudian, Dokter Naufal mengusap wajahnya pelan.

  "Astaga, Velma."

őőő

  Luka bekas camping lalu belum sepenuhnya sembuh, ditambah luka bekas pukulannya tadi pada gitar kesayangannya serta luka dihatinya yang semakin memperparah keadaannya.

  Revan memejamkan matanya, gelap. Untuk sekarang, membuka matanya pun saja kegelapan sudah terasa. Tidak ada bedanya membuat Revan tertekan, tidak ada semangatnya. Revan benar-benar merasa seperti enam tahun yang lalu, hidup dalam kegelapan, merasa tidak mempunyai apa-apa lagi setelah ibunya meninggal.

  Perlahan, pikirannya menerawang jauh kebelakang.

  Flashback on.

  Seperti biasanya, pada istirahat pertama, Revan bersama Lingga dan Meka nongkrong di koridor depan kelasnya, Revan sambil membawa gitar kesayangannya sering bernyanyi, dan ini adalah rutinitas mereka apabila sedang santai.

  "Revan."

  Merasa dirinya terpanggil, Revan menghentikan permainan gitarnya. "Ada apa pak?"

  "Tolong simpen bola-bola disana ke ruangan olahraga ya," Pak Arif selaku guru olahraga itu tersenyum, "Ajak temen-temen kamu juga biar bantuin. Yaudah bapak kesana dulu, makasih ya Van."

  Revan mengangguk dan langsung berjalan untuk mengambil bola tersebut, disusul oleh Lingga dan Meka dibelakangnya, "Aduh gue mau ke toilet dulu, mules."

I Love You, RevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang