Bagian 9

5.2K 565 7
                                    

Tak satu pun hidangan yang Venus pesan terlihat menarik. Tiba-tiba saja makanan yang ada di atas meja nampak seperti duri-duri tajam yang apabila Venus menelannya, maka tenggorokannya akan terluka dan berdarah. Dia hanya menunduk dan berpura-pura semangat melahap makanan yang sama sekali tidak mengenyangkan.

Enyahlah kau dari muka bumi ini, wahai manusia penyebab polusi, penyebar karbondioksida, erang Venus dalam hati.

Bodohnya jika Venus berpikir bahwa Adrian akan berpura-pura tidak menyadari kehadiran Venus. Beberapa kali Adrian mencuri pandang ke arah Venus. Meski tahu sosok yang menjadi pusat perhatian para Hawa yang ada di dalam restoran itu justru memperhatikan si wanita berhati es alias Venus, manusia yang diperhatikan malah lebih memilih menyuap makanan ke dalam mulutnya dalam porsi yang tidak elegan. Masa bodoh, begitulah yang ada dalam pikiran Venus.

″Ven,″ panggil Winda. ″Makanmu berantakan.″

Venus tidak menyahut, kedua kakinya sudah tak sabar ingin melayang jauh dari tempat terkutuk itu sesegera mungkin. Sebait lirik lagu melintas di kepala Venus, free me to fly away. Jika bisa, Venus ingin sekali lenyap.

Tuhan bener-bener lucu deh kalau bercanda, keluh Venus dalam hati.

Tak sampai beberapa menit makanan yang ada di piring Venus sudah habis tak tersisa. Setelah mengelap bibirnya dengan tisu, Venus segera minta pamit kepada Pak Hartawan. Sebenarnya Venus ingin langsung ″main pergi tanpa pamit″, berhubung Venus adalah seorang bawahan yang baik dan tidak sombong, dengan sangat terpaksa dia meminta izin kepada Hartawan yang sungguh sangat disayangkan tengah bercakap bersama Adrian.

″Pak,″ katanya. ″Mohon maaf sekali, tapi saya ada janji dengan adek saya.″

″Loh Venus, apa kamu nggak ingin pesan lagi?″

Sial, rutuk Venus, kenapa aku tidak pernah ditawari dari dulu aja ketika si setan itu tidak ada di sini?

″Terima kasih,″ tolak Venus. ″Lain kali saja. Saya buru-buru ini, Pak. Maaf, Pak?″

Venus mengangguk singkat ke arah Hartawan dan langsung mempercepat langkah menuju pintu keluar. Begitu Venus sudah berada jauh dari restoran, barulah beban tak kasatmata yang ada di atas bahunya itu terbang melayang. Inilah yang Venus sukai, rasa aman dan jauh dari intimidasi.

Bukan watak Venus untuk berbohong, apalagi kepada seorang atasan. Namun bagi Venus, ini merupakan keadaan emergency. Tak sudi rasanya seruangan dengan musuh bebuyutan, jika bisa, Venus bahkan tidak ingin menghirup udara yang sama dengan Adrian.

Venus sengaja berjalan di trotoar, sesekali memperhatikan lalu-lalang kendaraan yang ada di jalan. Padahal, dia bisa langsung naik taksi dan pulang ke rumah, hanya saja, kali ini Venus ingin menikmati sengatan matahari, mungkin terik matahari bisa membakar kegundahan yang ada di hatinya. Ketika sedang asik melamun, suara klakson mobil menghamburkan potongan khayalan yang ada di dalam benak Venus.

Sebuah sedan putih mewah tampak mulai menepi di depan Venus. Ketika si pemilik sedan keluar, tak kuasa Venus menahan diri untuk mencaci diri sendiri. Adrian, ternyata dialah sang pemilik sedan mewah yang membuat beberapa pejalan kaki terpana.

″Kamu,″ katanya. ″Ngapain?″

Adrian sama sekali tidak berminat menjawab pertanyaan Venus. ″Ikut.″

Like hell!″ umpat Venus.

″Ada hal yang harus kita selesaikan di suatu tempat.″

Venus mengacungkan tangan kanannya di depan wajah Adrian lalu berkata, ″Ngomong sama tangan. Sekali tidak, ya tidak.″

Venus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang