″Sadar nggak, kalau ternyata kita itu tak ubahnya seperti tumpukan kartu.″
Adrian mengerutkan dahi. Tak paham dengan ucapan Venus. Gadis yang duduk di sampingnya itu terlihat seperti tengah menimbang buku mana yang akan dilemparnya. Pelajaran matematika sudah lama berlalu, dan kini mereka berdua tengah menikmati waktu istirahat; duduk di kelas dan mulai berbincang ringan.
″Kenapa begitu?″ tanya Adrian tak paham.
Venus meletakkan modul matematikanya, melirik sengit tulisan balok yang tercetak di atas sampul berwarna hijau itu. ″Yah, rasanya mirip aja.″
″Mirip yang bagaimana? Kamu harus menjelaskannya.″
″Yah kehidupan kita monoton. Sekolah, belajar, makan, kerja, dan menikah. Nggak seru. Mirip kan, dengan kartu-kartu yang dimainkan itu. Atau, jangan kartu deh, bagaimana dengan ular tangga? Bukannya hidup kita itu hanya terdiri dari sebuah tujuan saja?″
Adrian tersenyum. ″Ada apa denganmu? Kamu kesambet setan penunggu perpus itu, ya?″
Mendengar komentar Adrian, Venus tak kuasa untuk mencibir, ″Ih, kamu gitu deh. Yah, aku kan hanya merasa kita itu hidup dalam sebuah aturan tak kasatmata. Ada dan harus ditaati. Kamu tahu kan, dalam permainan ular tangga itu ada bermacam aturan yang harus dipatuhi. Bedanya, tujuan ular tangga agar pemain harus mencapai angka seratus, sementara manusia. Hm ... tergantung tujuan mereka apa dulu.″
Adrian mencubit cuping hidung Venus. ″Kamu tuh, kenapa sih? Akhir-akhir ini mulai kaya Pak Socatres gitu. Kamu yakin, nggak diikuti setan penunggu perpustakaan.″
″Di perpus nggak ada setan penunggu bla bla bla, kok. Di sana aman.″ Untuk meyakinkan Adrian, Venus tersenyum hangat. ″Kamu harusnya sesekali menyempatkan diri mampir. Aku yakin, ketika kamu bertemu dengan penghuni dunia perpus itu, kamu bakalan tertular energi positif.″
″Kamu nggak sedang ngincar orang yang ada di perpus, kan?″ tanya Adrian penuh selidik. ″Jangan-jangan, kamu berubah jadi kaya Eyang Plato gini gara-gara pengaruh jelmaan sesuatu yang ada di sana?″
Venus tak kuasa menahan tawa, wajah Adrian yang kentara terlihat cemburu itu benar-benar menggemaskan.
″Kok kamu malah ketawa?″ ucap Adrian tak terima.
″Kamu itu aneh. Siapa juga yang kuincar?″
Akhir-akhir ini, Adrian sadar bahwa Venus lebih sering menghabiskan waktunya ke perpustakaan. Gadis itu nampak sumringah sekembalinya dari sana, seolah dia berjumpa dengan seseorang yang sangat mengesankan. Dan, hal itu sedikit membuat Adrian merasa waswas.
″Jangan-jangan,″ tebak Adrian, ″kamu memang punya selingkuhan, ya?″
″Ih,″ seru Venus. ″Sembarangan.″
″Ah, tapi nggak mungkin. Kamu tidak akan pernah bisa berpaling dariku.″
***
Dulu, Adrian merasa bahwa Venus tak mungkin berpaling darinya. Namun kini segala sesuatu bisa terjadi. Venus dan segala hal yang berkaitan dengannya. Semuanya berubah.
Berdiri di balkon, Adrian menatap langit yang ada di atas Jakarta. Bangunan rumah Adrian yang bergaya cenderung minimalis terletak di perumahan yang dikhusukan untuk kelompok elit. Bahkan taman yang ada di rumahnya pun ditata oleh ahlinya. Adrian bisa melihat rumpun bunga mawar yang menutupi pagar tembok. Kelopak bunga berwarna merah itu menebarkan aroma manis.
Kelopak mawar....Adrian teringat dengan gelang yang selalu Venus kenakan. Gelang dengan untaian mawar. Venus selalu mengenakannya. Seingat Adrian, Venus pertama kali mengenakannya ketika dia masih SMA, dan ternyata benda itu masih menjadi perhiasan yang menghias tangan Venus.
Aneh rasanya, mengingat wanita itu berusaha menghapus seluruh keberadaan Adrian dari kehidupannya. Venus ingin menghapus Adrian, segala yang berhubungan dengan Adrian. Kini, Adrian tahu bahwa ada sesuatu yang tetap dijaga Venus.
Ada sesuatu dengan gelang itu. Sebuah cerita yang disimpan Venus seorang.
***
Lama Romeo memandang ponsel yang tergeletak di atas mejanya. Di dalam kamar, dia merenung; memikirkan kelanjutan kisahnya sendiri yang mungkin tak akan berakhir dengan bahagia. Kisah yang berawal di bulan Agustus yang panas dan berakhir di kala hujan berderai di bulan Maret. Bahkan Romeo bisa mengingat setiap jengkal memori di perpustakaan itu; dia duduk seorang diri dan sibuk dengan buku yang bercerita mengenai pemikiran filsuf di zaman dulu. Lalu suara tawa serang gadis yang menariknya keluar dari dalam relung pemikirannya. Venus dan dirinya. Hanya mereka berdua. Bercakap mengenai banyak hal, membandingkan apa pun yang mereka lihat, dan saling mengejek kelemahan masing-masing.
Hingga Venus berceloteh riang mengenai Adrian.
Pada akhirnya Romeo menyadari sesuatu: tak ada ruang baginya di hati Venus. Kenyataan ini menampar telak Romeo. Dia tidak bisa mengharapkan sesuatu yang lebih. Romeo harus berpuas diri berperan sebagai seorang pendengar yang baik. Karena memang, di situlah seharusnya dia berada.
Tapi hati tahu apa yang diinginkannya, meski mulut bisa berdusta, dan itulah kebenarannya.
Selalu seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Venus (END)
General FictionArdrian, cowok yang bertanggung jawab atas sikap dingin seorang Venus kini datang kembali ke dalam kehidupan wanita yang menyatakan diri untuk tetap single selamanya. lalu Romeo, sang penggemar dari masa lalu. kehidupan Venus berubah 180 derajat. di...