Jam hampir menunjukkan angka tujuh. Venus mematutkan diri di depan cermin, merasa aneh sekaligus senang. Dress sepanjang lutut berwarna merah muda itu terlihat manis. Flat shoues warna serupa pun terlihat sudah Venus persiapkan untuk menemaninya menjejak malam perdana kencan, garis miring, makan malam berdua bersama Romeo. Rambutnya tertata rapi, hanya sebuah jepit rambut berwarna perak yang menghias kepalanya. Sempurna. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
Menatap pantulan Venus yang ada di dalam cermin, Venus tak kuasa untuk tersenyum melihat dirinya terlihat berbeda. Memang, tidak ada yang salah dengan keinginan Venus untuk terlihat berbeda. Dia memang perlu melakukan perubahan.
″Mbak Venus,″ panggil Anggita dengan suara manja. Kepalanya menyembul melewati daun pintu kamar Venus. Dan, senyum jahil tersemat di wajahnya.
Sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan, Venus pun berusaha bersikap sewajar mungkin. ″Kamu ngapain di situ?″
Anggita nyengir lebar, menampakkan barisan gigi putihnya. ″Tanda ta—″
″Itu lagi.″
Kecewa. Anggita berjalan lunglai menuju ranjang Venus, berhati-hati mendudukkan dirinya di atas kasur. ″Ih, Mbak Venus.″
″Sudahlah.″ Venus membalikkan badan, menatap adiknya yang mulai merajuk. ″Percaya sama Mbak, dia itu bukan figur yang patut untuk diteladani.″
″Tapi dia adalah model yang patut untuk dipelototin.″
Venus menepuk dahi. Pasrah.
″Lagian, apa susahnya sih, Mbak? Kan cuma tanda tangan doang.″
Ingin rasanya Venus melakukan brain washing, dengan harapan pikiran adiknya itu akan kembali ke jalan yang benar. Tak masalah jika Anggita mengidolakan Justin Bieber, artis Jepang, atau boyband Korea sekalipun. Namun, yang tengah dibicarakan ini adalah Adrian, serigala berbulu domba yang senang memangsa. Baiklah, penggambaran Venus mungkin terlalu berlebihan, namun tetap saja, dia tidak bisa mengindahkan alarm di kepalanya. Adrian itu bukan manusia yang baik. Titik.
″Terserahmu sajalah,″ ucap Venus lunglai. Dia mulai mengambil tas dan berjalan keluar dari kamar. Samar-samar dia bisa mendengar Anggita mencibirnya sebagai manusia pelit.
Di ruang tamu, Miranti tampak sibuk merajut sesuatu. Venus tebak, ibunya tengah mencoba membuat taplak meja, karena dia hanya bisa melihat bulatan-bulatan benang berwarna merah.
″Eh, kamu mau pergi to, Nduk?″ Kemudian Miranti mulai menelisir penampilan putrinya. Sadar, ada sesuatu yang berbeda. ″Tumben dandan?″
″Apa sih,″ selak Venus.
″Metu karo sopo?″ tanya Miranti. ″Keluar dengan siapa kamu? Adrian?″
Spontan. Venus menggeleng.
Miranti mendesah lega, putrinya tidak berencana menghabiskan akhir pekan dengan orang lain. ″Kalau gitu, apa kamu keluar dengan Romeo?″
Venus mengangguk pelan, mengiakan.
″Nah, mbok gitu toh,″ ujar Miranti. ″Mama kan jadi tenang.″
″Mama berlebihan.″
″Ya, kan Mama takut. Wajar dong. Bayangin, ibu mana yang bisa tenang melihat putrinya mengisolasi dirinya dari dunia luar? Pakek acara deklamasi anti-nikah lagi, haduh, Mama curiga kamu sengaja berbuat demikian biar Mama jantungan.″
Komentar Miranti membuat Venus tertawa, terkadang ibunya itu memang selalu bisa diandalkan untuk menciptakan cerita delusional yang begitu menggugah. Venus bahkan pernah berusaha menawarkan cerita Miranti ke salah satu temannya yang berprofesi sebagai penulis naskah, alhasil, ceritanya berhasil dibuat FTV-nya, dan mendapat tanggapan yang beragam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Venus (END)
General FictionArdrian, cowok yang bertanggung jawab atas sikap dingin seorang Venus kini datang kembali ke dalam kehidupan wanita yang menyatakan diri untuk tetap single selamanya. lalu Romeo, sang penggemar dari masa lalu. kehidupan Venus berubah 180 derajat. di...