Bagian 19

4.6K 450 3
                                    

Entah mengapa, pekerjaan di kantor terasa ringan dan sama sekali tidak mengesalkan. Venus mengetik beberapa laporan tanpa mengeluh sedikit pun. Beberapa kali Winda memergoki penampakan Venus yang tengah tersenyum. Jenis senyum sumringah yang mengindikasikan aura merah muda yang hanya ada pada sepasang manusia yang tengah menjalin hubungan cinta. Sebenarnya Winda gatal ingin menanyakan perubahan suasana hati Venus, namun dia mengurungkan niat begitu mendapati Romeo menghampiri kubikel Venus.

″Ven,″ panggil Romeo.

Venus segera mengalihkan pandangan dari layar monitor. Ditatapnya Romeo yang berdiri di samping mejanya. Seperti biasa, Romeo terlihat rapi dalam kemeja bernuansa biru lautnya.

″Eh,″ kata Venus. Bingung harus bersikap seperti apa. ″Tumben kamu mampir ke sini.″

Khawatir dengan keselamatan. Venus pun melirik ke sekitar, memastikan para pemuja Romeo tidak mempersiapkan bom paku atau apa pun untuk melukai Venus. Hasil tinjauan: tidak ada bom paku, yang ada hanyalah tatapan penasaran Winda dan orang sekitar.

″Tumben gimana?″ Seulas senyum menghias wajah Romeo. ″Makan siang?″

″Sekarang?″ Venus melirik penanda waktu di layar, sadarlah dia bahwa waktu menunjukan pukul dua belas tepat.

″Sekarang,″ ucap Romeo menegaskan.
Tanpa ragu Venus berkata, ″Oke, traktir ya?″

***

Venus dan Romeo memilih sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari kantor. Harusnya mereka berdua menikmati makanan yang dipesan, namun tiba-tiba saja dering ringtone membuyarkan acara santap mereka.
Romeo mengerutkan kening mendapati nama yang tertera di layar ponselnya. Dia menekan tombol penerima panggilan, beberapa kali Romeo terlihat cemas ketika mendengarkan manusia yang tengah bercakap di seberang sana. Setelah itu, perbincangan pun selesai dan wajah Romeo terlihat menyesal.

″Pergi aja,″ ucap Venus menyarankan. ″Nggak apa-apa kok. Sepertinya mereka membutuhkanmu.″

″Tapi ....″
″Tidak ada tapi-tapian. Ini darurat, mereka itu klienmu, dan kamu tahu kan kalau pelanggan adalah raja?″
Romeo tersenyum melihat ketegasan Venus. ″Kamu yakin?″
″Tentu saja,″ jawab Venus mantap. ″Jarang-jarang bisa makan sepuasnya.″
Satu alis Romeo terangkat. ″Eh, kata siapa kamu boleh makan semuanya?″
″Apa?″ Venus pura-pura terkejut. ″Jadi ini nggak gratis.″
″Oke deh, semua makanan yang ada di atas meja ini gratis, asal ....″
″Asal?″
″Kamu ajak aku makan malam.″
Venus berusaha menelan ludah. Bingung, harus bereaksi seperti apa. Ternyata terlalu lama mengurung diri dari dunia pergaulan, membuat Venus lupa cara bertata-krama kepada seseorang.
″Bukan makan malam yang biasa, loh,″ tambah Romeo. ″Aku ingin yang tak terlupakan.″
″Jangan bilang kamu minta makan malam di Mars?″
Romeo tertawa mendengar candaan Venus. ″Boleh juga.″
″Gawat, tiketnya kan mahal.″
″Kamu pikirin dulu deh,″ ucap Romeo sembari merapikan kemejanya. ″Aku tunggu makan malam istimewanya. Dan, aku bener-bener minta maaf nggak bisa nemenin kamu makan siang. Tapi tenang saja, ini semua gratis kok.″
Venus hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ucapan Romeo. ″Ya, ya.″
″Aku tinggal dulu, ya?″
″Romeo,″ ucap Venus menyemangati, ″semoga sukses.″

***

Sebenarnya Romeo enggan meninggalkan Venus seorang diri di restoran, namun ketika dia melihat nomor yang tertera di layar ponselnya maka dia memutuskan dengan berat hati untuk meninggalkan Venus.

Johan Prayoga
Romeo, klien kita ingin bertatap muka.
Sepertinya, keadaan berjalan di luar kendali.

Semoga ini bukan pertanda buruk. Romeo hanya bisa berharap pada keberuntungannya.

Venus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang