Bagian 18

4.7K 501 9
                                    

Sabtu pagi yang dijanjikan pun tiba. Jam delapan tepat, Venus sudah bersiap di ruang tamu. Karena Romeo tidak memberikan informasi khusus mengenai tempat yang akan mereka datangi, akhirnya Venus memilih mengenakan celana jins biru dengan atasan blus merah muda, berharap dia tidak akan salah kostum. Anggita yang kebetulan meminjam laptop Venus untuk tugas pun melirik penuh makna ke arah Venus yang sibuk mondar-mandir di depan pintu kamar. Venus berpikir apakah keputusannya menerima ajakan Romeo memang sudah benar?

″Mbak,″ tanya Anggita penasaran, ″mau ke mana?″ 

Daripada menjawab pertanyaan Anggita, Venus pun memilih untuk bertanya balik, ″Kamu ndak sekolah?″

″Loh, kan ada acara perpisahan murid kelas XII. Jadi aku libur.″

″Bukannya kamu anggota OSIS?″

″Aku ndak ikut, ada urusan lain yang harus aku selesaikan.″

″Sok penting,″ sindir Venus.

″Emang penting kok. Serius, Mbak, mau ke mana?″

″Mau tahu aja.″

Kemudian bel pintu pun berdenting. ″Ngi!″ panggil Miranti dari arah dapur. ″Tolong bukain pintu, lihat, siapa yang datang.″

Menuruti perintah Miranti, Anggita pun melesat menuju ruang tamu. Dan ketika dia membuka pintu, Anggita hanya bisa berdiri kaku dengan mulut menganga.

″Siapa, Ngi?″ tanya Miranti.

Karena tidak mendapat jawaban dari Anggita. Miranti pun memutuskan untuk menengok, dan dia pun berkata dengan suara nyaring, ″Nak Romeo!″

Teriakan melengking itu sudah cukup sebagai kode bahwa Venus harus segera keluar. Menuruni tangga sembari berharap tidak akan menerima komentar dari Miranti. Sampai di ruang tamu, kini gliran Venus yang mematung. Romeo hari ini mengenakan celana jins hitam dan sweater rajut warna cokelat. Beberapa kali Venus berusaha menelan ludah, menguatkan diri untuk berkata, ″Cepet banget, aku kira kamu mbatalin rencana.″

Romeo tersenyum ke arah Venus, ″Nggak kok, aku masih ingat.″

Seakan mendapat pencerahan, Anggita pun berkata, ″Owalah, jadi ini toh, yang bikin Mbak Venus uring-uringan?″

Dengan gerakan sigap, Venus segera memohon izin pergi sebelum adiknya mempermalukan Venus lebih lanjut. Oh, itu tidak bisa dibiarkan. Miranti, meski tidak paham, namun dia merasa senang karena untuk pertama kalinya putri sulungnya akhirnya membuka hati.

Venus dan Romeo melambai singkat sebelum pergi meninggalkan Anggita dan ibunya.

″Ma,″ bisik Anggita, ″Mbak Venus dah tobat.″

***

SUV itu meluncur mulus di atas aspal. Selama perjalanan, Venus hanya diam, tak berani menatap Romeo yang duduk di sampingnya. Beruntung, Romeo pun sibuk mengendalikan arah laju mobil yang dikemudikannya. Sesekali Venus mendengar suara bising bajai dan klakson sepeda motor. Di jalanan, para manusia yang terdiri dari tukang pos, penjaja makanan, pegawai negeri, bahkan tukang ojek pun berubah sangar layaknya pembalap F4 dan GP. Seakan-akan jalanan ini adalah medan pertempuran, dan segala cara dihalalkan asal bisa sampai di tempat tujuan tak terlambat.

Beberapa kali Venus mencuri pandang ke arah Romeo. Dan, pemuda itu tetap diam seperti lima menit yang lalu.

″Kamu pengin denger sesuatu?″ tanya Romeo seolah menyadari tatapan Venus.

″Boleh,″ jawab Venus.

Suara wanita yang diiringi dengan musik bernada slow pun memenuhi ruang di antara Venus dan Romeo. Venus mengenali suara khas Leona Lewis yang mengalun dalam lagu yang berjudul A Moment Like this. Tersadarlah Venus pada beberapa bait yang membuatnya tersipu.

Venus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang