Bagian 27

4.2K 435 1
                                    

Perlahan-lahan keadaan Adrian mulai menunjukkan ke arah yang baik. Tak pernah menyangka, Tuhan bersedia memberikan anugerah, Adrian benar-benar bersyukur bahwa dia masih diberi kesempatan untuk menghirup napas kehidupan.

Meski kepalanya masih terasa berat dan dia hanya bisa terbaring di atas ranjang, Adrian bisa melihat Risma yang duduk di samping ranjangnya. Wanita itu mengenakan pakaian berwarna cokelat tua, wajahnya tanpa riasan, meski begitu, dia masih terlihat cantik.

″Bagaimana keadaanmu?″ tanyanya. Suaranya terdengar serak, dan Adrian bisa menangkap nada lelah.

Adrian tersenyum. ″Tak pernah sebaik ini.″

″Mama kira ... kamu akan meninggalkan—″

Mom, I'll never leave you. I promise. Aku tidak akan membiarkan Mama sendirian. Tidak akan.″

Risma meraih jemari Adrian, menggengam erat. ″Berjanjilah. Adrian, kamu harus bersumpah tidak akan membuat Mama khawatir seperti ini lagi.″

Andai saja Adrian bisa tertawa, mungkin dia akan tertawa terbahak-bahak menyaksikan adegan drama semacam ini. ″I'm okay. See? Tidak ada apa pun yang perlu Mama khawatirkan. Okelah, wajahku memang terlihat jelek hari ini, namun, aku yakin, begitu keluar dari rumah sakit ini, putramu akan kembali terlihat setampan biasanya.″

Seulas senyum tersungging di bibir Risma. ″Darling, kamu memang sangat menyebalkan ketika sakit.″

You know me so well.″

Risma menarik tangannya, melepaskan genggamannya dari Adrian. ″Tenang saja, Om Hartawan tidak akan membiarkan mereka bebas. Manusia jahat itu harus mendapatkan hukuman.″

Salah satu alis Adrian terangkat. ″Kenapa?″

″Kenapa?″ ucap Risma tak percaya. ″Lihat apa yang terjadi padamu. Ada yang menyabotase panggung, dan akhirnya kamu berakhir di sini. Apa kamu lupa, Darling?″

Tentu saja, Adrian ingat detik-detik peralatan lightning yang tiba-tiba jatuh dan membuatnya mengalami sakit tak terkira ini. Hanya karena perlindungan Tuhan saja yang membuat Adrian bisa bernapas hingga saat ini. Adrian bukan termasuk ke dalam manusia yang suka mendendam, dia lebih senang membiarkan semuanya dan menyerahkannya kepada Tuhan. Biar Yang Kuasa yang memberikan penghukuman.

Bicara mengenai dendam, Adrian tiba-tiba teringat dengan sosok Venus. Kamat-lamat, di antara kesadarannya kala itu, dia seperti mendengar gadis itu berkata, ″Aku memaafkanmu, Adrian.″

″Mom,″ tanya Adrian, ″apakah Venus tahu?″

″Dia tahu.″

Hening. Adrian berusaha menyisir ruangan, dan kedua matanya tidak menemukan sosok Venus di mana pun.

″Mencarinya?″ tanya Risma yang menyadari tatapan menelisik putranya.

″Selama kamu tak sadarkan diri,″ jelas Risma, ″dia selalu berada di sampingmu. Sebenarnya Mama yang memintanya untuk datang ke sini. Sungguh, dia pun terlihat sama terkejutnya denganku. Beberapa kali Mama mendapatinya menangis di sampingmu. Entahlah, apakah dia merasa bersalah atau ... sesuatu yang lain.″

Adrian berharap sesuatu yang lain yang tengah ditekankan oleh Risma itu adalah hal yang diharapkannya. Andaikata Venus mengkhawatirkannya, mungkin saja gadis itu memiliki perasaan yang sama seperti dirinya beberapa tahun yang lalu.

″Yang jelas,″ lanjut Risma, ″Mama harap kamu tidak kecewa ketika dia tidak bersikap sesuai dengan keinginanmu.″

Adrian hanya bisa mengerutkan dahi. Tidak mengerti.

***

″Kamu baik-baik saja?″ Romeo menawarkan sekaleng jus jeruk kepada Venus yang tengah duduk seorang diri. Taman samping rumah sakit terlihat lengang, hanya ada beberapa perawat yang hilir-mudik. ″Mungkin kamu pengin makan sesuatu?″

Venus menggeleng. Tidak berselera.
Romeo memutuskan untuk duduk di samping Venus, meletakkan jus yang Venus tolak di sampingnya. Bangku beton itu terasa dingin, beberapa daun kering berserakan di sekitar bangku.

″Benar, kamu tidak apa-apa?″ tanya Romeo memastikan.

″Aku baik-baik saja.″ Kedua mata Venus masih menatap pepohonan pakis yang ada di depannya. ″Aku hanya ... bingung.″

Dingin. Suasana sore di rumah sakit semakin membuat Romeo merasa tak enak. Kemilau jingga yang mulai mewarnai dahan-dahan dan pepohonan pun semakin menyemarakkan kesenduan tak terucap ini.

″Jujur,″ ucap Venus, ″sebenarnya aku hampir tidak percaya dengan yang namanya cinta. Tidak sedikit pun.″

Sampai saat ini. Romeo memilih untuk diam. Kedua matanya mengamati sosok Venus yang mengenakan jins biru dan blus merah muda.

″Dulu, aku pernah menyukai seseorang. Saat itu, aku merasa segala yang ada di sekitarku benar-benar indah, atau mungkin seperti itulah dunia terlihat di mata manusia yang tengah dimabuk cinta. Semuanya terasa benar-benar indah. Benar-benar naif, ternyata yang kucintai telah dimiliki oleh yang lain. Menyedihkannya, sosok yang berhak memilikinya adalah sahabatku sendiri.″

Jeda sejenak. Venus berusaha menghela napas, kemudian kedua matanya memandang ujung flat shoues-nya.

″Aku merasa sangat bodoh,″ lanjut Venus. ″Membenci sahabatku sendiri tanpa pernah mendengar alasan di balik semuanya. Aku hanya menerima kebenaran yang kuinginkan. Dan, ketika aku mengetahui hal yang sejatinya, saat itu sudah terlambat. Tidak hanya cinta yang telah lenyap, aku juga kehilangan sahabat terbaikku. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan permintaan maaf. Oleh karena itu ... ketika ... Adrian ... di sana.″

Terhenti. Seluruh kata-kata yang ingin Venus ucapkan seolah lenyap berganti dengan isakan. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Tanpa perlu diperintah, Romeo segera merengkuh Venus ke dalam sebuah pelukan. Tubuh Venus gemetar, dan tangisnya pecah di antara kalimat-kalimat penyesalan.

″Aku benar-benar takut...,″ katanya terbata. ″Aku takut melakukan hal yang salah.″

″Sshhh,″ ucap Romeo menenangkan. Ditepuknya pundak Venus. ″Dia selamat. Tuhan menyelamatkannya, kamu tidak perlu merasa bersalah. Ini bukanlah hal yang bisa manusia kendalikan. Venus, kamu tidak perlu merasa bersalah.″

***

Entahlah, apa yang ada di kepala Venus. Tiba-tiba saja dia ingin mengutarakan sesuatu yang dipendamnya. Setelah Venus mengungkapkan seluruh kekalutan yang melandanya, Romeo langsung memeluknya, memberikan perlindungan dan keamanan.

″Sshhhh,″ ucap Romeo lembut. Tangannya mulai menepuk pundak Venus, memberikan aliran hangat. ″Dia selamat. Tuhan menyelamatkannya, kamu tidak perlu merasa bersalah. Ini bukanlah hal yang bisa manusia kendalikan. Venus, kamu tidak perlu merasa bersalah.″

Venus tidak membalas pelukan itu. Dia hanya berpasrah dalam kehangatan itu.

″Kamu tidak boleh merasa seperti ini. Kamu tidak boleh menyalahkan dirimu sendiri. Apa pun itu, yang terjadi di antara kalian berdua sudah berlalu. Selesai.″

″Tapi....″

″Semua sudah berakhir. Tidak ada yang perlu didebat lagi.″

Venus tidak berkata apa pun. Dia diam.

Sinar senja membasuh sosok Venus dan Romeo. Dan mereka berdua tetap diam di sana, menikmati hangatnya langit sore.

Venus (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang