Chapter 18. She'll Never be Tired of Him

217 11 2
                                    

York Moors Utara, Yorkshire bagian utara.
( 03:18 PM )

Soojung memaksakan genggamannya untuk menarik Sehun agar dirinya terhindar dari runtuhan dahan sekaligus mayat tersebut. Terhempaslah tubuh tak bernyawa itu dari dahan pohon dengan ketinggian sekitar empat meter. Posisinya terlentang menghadap bawah. Walkie-talkie kembali Max gunakan setelah ia melihat sesuatu yang tidak asing, yaitu tiga helai kabel kecil yang memiliki warna yang berbeda pula. Tak diragukan lagi, itu adalah bom. Bunyi dari balik baju lelaki tak bernyawa itu masih menghitung mundur.

Sean dan Max berlari menghampiri Sehun dan Soojung, kemudian menariknya seraya berteriak, "Menjauhlah dan kembali ke Great White I," ujar salah satu di antara mereka. "Ini jebakan."

"Sir, we found the explosive device," Max berujar. "We have found them, Sir."

Max berharap pemancar walkie-talkie dapat berfungsi dengan benar setelah ia mengotak-atik beberapa bagian luar walkie-talkie. Kedua personel tentara itu mengedarkan pandangannya ke segala arah sambil memperhatikan Sehun dan Soojung. Deruan angin begitu terdengar jelas dari arah belakang mereka. Soojung terlihat masih terdiam kaku. Wajahnya memucat ketika ia masih memikirkan apa yang ia lihat pada saat menarik Sehun.

Nyaris mendekati nol luka yang mencederai wajah korban. Namun, tidak pada bagian arteri pada leher dan pergelangan tangannya yang berwarna biru gelap nyaris berwarna hitam. Beberapa sayatan melukai tangannya, serta sebuah sayatan kecil ada pada leher bagian belakang. Sesuatu telah dimasukkan ke dalam tubuh korban.

Tiba-tiba, Max menghentikan langkah mereka bertiga.

"Biarkan aku mengaktifkan mesin Great White I terlebih dahulu," pinta Max.

Sean memicingkan mata agar melihat Max lebih jelas lagi.

"Kau gila?" tanya Sean memastikan. "Terdapat jebakan di sekitar tempat ini."

Max menggelengkan kepala, tak mengindahkan perkataan Sean. Lelaki tertinggi kedua tersebut segera berlari kecil ke arah pesawat. Sean meminta mereka berdua untuk bersembunyi di balik pohon setelah memastikan bahwa pohon tersebut aman. Sehun mencoba untuk menenangkan Soojung. Sean kerap kali mengawasi keadaan sekitar yang mulai berkabut. Sedangkan Soojung, gadis itu memilih untuk memejamkan kedua matanya untuk merilekskan pikiran ketika tangan Sehun mengusap punggungnya sambil membisikkan kalimat "Lo akan baik-baik saja. Percayalah akan keyakinan gue. Kita akan menemukan Kai".

Tangan Max meraih pintu pesawat tersebut, lalu membukanya setelah ia menaiki tangga kecil. Sean mengeluarkan sebuah botol aluminium berisi air mineral dan memberikannya kepada Sehun. Lelaki itu membuka tutup botol setelah menepuk pundak Soojung.

"Minumlah."

Soojung baru memperlihatkan wajahnya selepas tiga detik kemudian. Tangannya menggenggam botol tersebut. Tak sengaja, matanya menangkap suatu benda di pantulan pada botol aluminium itu.

Sebuah rudal mengarah ke pesawat Great White I dari arah selatan mereka bertiga. Dia melesat dengan ganasnya hingga kekuatan angin tak mampu membuat rudal tersebut goyah. Jaraknya sekitar ratusan meter dari udara. Sean yang baru saja diberitahu oleh Soojung langsung memperingati Max melalui walkie-talkie.

Tak ada tanggapan. Mereka bertiga bertatapan.

"Tidak ada pilihan lain. Lebih baik Max diperingati secara langsung," ujar Sehun.

Lelaki itu berlari dengan kencang ke arah pesawat. Itu tindakan bunuh diri. Sean buru-buru menyusulnya dengan cekatan. Tidak ada waktu untuk memperingati. Kecepatan rudal untuk mengenai pesawat lebih cepat dibanding mereka harus memberitahu Max. Soojung hanya dapat berdoa dan mengharapkan suatu keajaiban datang. Sean berusaha untuk mencekal pakaian Sehun. Namun, dua buah peluru yang menembus pergelangan kaki dan tengkuk Sean membuat dirinya terjatuh. Rudal itu semakin dekat.

Sehun melihat ke belakang, kemudian meminta Soojung untuk tetap diam di tempat. Sean berjuang untuk menepis rasa sakitnya yang lama-kelamaan membuat seluruh badannya tak dapat digerakkan. Sehun menghampiri Sean, lalu menariknya agar bersembunyi di balik besarnya tumpukan batu. Mereka berdua menelungkup, menahan hawa panas ketika ledakan itu terjadi.

***

Gadis itu meletakkan tangan Kai ke samping pinggang kembali setelah mendengar dentuman keras di sekitarnya. Ia memastikan bahwa Kai masih bernapas. Kemudian, ia mendaki bukit yang sedikit lebih tinggi dari dataran sebelumnya untuk melihat apakah masih ada tanda-tanda pergerakan sesudah ledakan itu terjadi. 

Sulli memandang selama beberapa menit, namun hasilnya nol absolut. Tak ada tanda lainnya yang dapat ia lihat dari jarak sejauh ini. Satu-satunya cara adalah mendekati titik tersebut agar mendapatkan suatu informasi atau alat elektronik yang dapat digunakannya untuk berkomunikasi. Ia memandang langit yang berwarna kelabu — tanda akan hujan segera berjatuhan membasahi wilayah ini. Tidak ada pilihan lain, Sulli harus membawa Kai bersamanya menuju titik itu.

Langkah demi langkah membawanya menuju tempat semula. Sulli menekuk lututnya menyentuh tanah, lalu menempelkan telapak tangan kanannya pada kening Kai. Demamnya tak kunjung membaik. Wajah Kai pun terlihat semakin memucat. Karena lelaki itu merasakan sentuhan pada keningnya, kedua matanya refleks terbuka dengan perlahan. Matanya hanya terbuka sedikit. Kai segera menurunkan kembali tangan Sulli yang dingin ketika ia menyadari keadaan yang sebenarnya.

Erangan pelan Kai terdengar ketika ia mencoba menegakkan sandaran punggungnya ke pohon. Rasa perih itu seketika kembali lagi saat teringat timah panas menembus pinggangnya. Puffer-nya kini bersimbah darah. 

"Apa ada cara lain setelah ini?" tanyanya samar-samar, menyandarkan kepala ke batang pohon dan sesekali menghela napas berat yang cukup dalam. Ia memilih untuk memejamkan matanya.

"Gue akan mencari alat komunikasi di tempat yang tak jauh dari sini," Sulli menjelaskan. "Tapi, keadaan lo memburuk. Gue gak memaksa lo untuk ikut bersama gue ke sana."

Kai terkekeh sambil menahan rasa sakitnya. Sulli menaikkan kedua alis matanya.

"I'm totally okay with this. Ayo?" Kai bangkit dari tempat ia bersandar seraya menahan napas untuk meminimalisir sakitnya. "I will never stop trying."

Sulli buru-buru membantunya untuk berdiri. Sebelum Kai bersiap untuk menegakkan badannya, gadis tersebut menyandarkan badan Kai agar dapat menyesuaikan keseimbangannya. Sulli melonggarkan lilitan puffer, lalu mengeratkannya kembali Kai agar darah tak lagi terkuras. Kemudian, ia mengambil sebuah batang pohon berukuran sedang  yang tergeletak di tanah untuk diberikan kepada Kai agar membantunya berjalan.

Kai menggenggam batang pohon tersebut. Sulli sengaja melingkarkan tangan Kai ke belakang lehernya. Gadis itu segera memberi aba-aba untuk siap berjalan saat kedua mata mereka saling bertatapan.

Gadis itu memegang pinggang Kai supaya tetap tegak berdirinya.

Satu langkah, Kai merasa luka itu semakin perih.

Dua langkah, Kai telah terbiasa dengan kondisinya seperti ini.

Tiga langkah hingga langkah-langkah berikutnya, mereka telah berjalan dengan saling meyakini bahwa mereka dapat melewati tantangan ini.

***

x 21 June '17 x

Selamat malaam~ Arcleo kembali lagi dengan 2 fanfic kaistal [love&war dan fall for the fear]. Author minta maaf atas keterlambatan update cerita ini karena padatnya jadwal (( di sini ))

; u ;

Semoga readers menikmati alurnya! ^ ^
Jangan lupa untuk tinggalkan bintangnya ya xD

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love and War Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang