Aku tidak pernah ingin tahu, hubungan seperti apa yang dijalani kak Luna dan Ed, tetapi semakin mendekati hari besar mereka, aku melihat justru mereka semakin jarang bertemu. Kakakku sama sekali tidak ingin mengenal keluarga tiri calon suaminya, sementara om Ed malah kian sering aku temani keluar rumah.
Dia selalu bertandang ke rumah di saat jam makan siang. Aku sebenarnya tidak terlalu suka makan di luar, makanya aku selalu menyiapkan masakanku sendiri setiap hari. Aku tidak pernah kesiangan lagi, setidaknya ketika om Ed datang, aku sudah selesai berbenah dan masakanku sudah selesai semua.
Dia ternyata bule yang sangat Indonesia, buktinya dia sangat lahap menyantap segala masakanku yang sangat khas negaraku. Setidaknya aku senang, karena ada seseorang yang mau menemaniku di saat semua keluargaku sibuk dengan urusannya sendiri.
Aku juga tidak lagi canggung bila di dekatnya, meski debaran di dalam dadaku tidak pernah berkurang frekuensinya. Seperti saat ini, pria itu tengah memejamkan matanya sambil berbaring di dipan panjang di dekat taman bunga mama yang letaknya di belakang rumah.
Tempat itu salah satu favoritnya jika dia berkunjung ke rumah kami, berbaring santai berbantalkan lengan kokohnya, sambil memejamkan matanya dan menghirup aroma bebungaan yang tumbuh indah di sana. Terkadang aku iri dengan bebungaan milik mama yang senantiasa bisa dekat dengannya, menikmati aroma harum dari tubuhnya tanpa harus mencuri-curi sepertiku.
"Kalian belum membeli cincinnya?" tanyaku heran, aku meletakkan sepiring penuh irisan buah mangga kesukaannya. Pria itu membuka matanya, kemudian bangkit dari posisi nyamannya sambil menatapku acuh.
"Nanti orang dari tokonya akan datang ke sini. Luna harus menyelesaikan semua kontraknya sebelum ijin cuti untuk bulan madu kami nanti, jadi dia tidak akan sempat memilih semua keperluan pernikahan."
Dan aku yang harus menjadi kelinci percobaan, seperti halnya ketika memilih gaun pengantin beberapa hari yang lalu. "Asalkan mereka tidak salah sangka lagi, bahwa akulah calon pengantinnya!"
"Kenapa? Bagaimana jika kamu saja yang menikah denganku?"
Sungguh? Seribu kata mau sudah berada di ujung lidahku. Aku berdoa semoga pria itu tidak melihat binar bahagia di mataku, karena aku sangat mengerti jika dia sekarang hanya tengah bercanda.
"Om terlalu tua untukku!" Kilahku sambil menelan sepotong daging manis dari mangga yang tadi aku kupas, rasanya seperti menelan sebongkah kerikil kecil.
Aku tidak berani menatap mata sendunya, atau aku akan mengungkapkan semua rahasia hatiku. Cukup aku dapat melihatnya seperti ini setiap hari, sebelum dia terbang selamanya dari sampingku.
"Kamu benar! Kenapa kamu tidak dilahirkan menjadi Luna saja?"
Aku menelan ludahku dengan susah payah, apa maksud dari perkataan pria ini? Sama sekali aku tidak mampu mencerna ucapan pria itu, dan kepalaku menjadi bertambah pusing.
"Apa maksud Om?"
"Jika kamu sudah lebih dewasa mungkin aku akan jatuh cinta kepadamu, sayangnya kamu masih gadis kemarin sore. Dan sebentar lagi kamu akan menjadi adik iparku, sepertinya tidak terlalu buruk." Ada nada kecewa yang aku rasakan mengalir di dalam ucapannya, tapi kenapa?
"Kenapa Om tidak memilih seorang putri bangsawan Inggris saja? Kakakku pasti akan menjadi upik abu nanti."
"Aku tidak berencana untuk tinggal dengan ibuku di Kastil, aku memiliki rumah yang sangat nyaman di Costwold."
"Bagaimana dengan keluarga Om di sini?"
"Rumahku yang di sini sudah cukup menjamin kehidupan mewah mereka."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sasi (Sudah Terbit)
RomanceSasi Kirania, gadis 19 tahun yang terpaksa terjebak dalam sebuah pernikahan yang tidak diinginkannya bersama seorang pria keturunan ningrat Inggris. Dia hanyalah pengganti dari kakaknya, yang melarikan diri di hari pernikahannya. Meski sesungguhnya...