Bab 18

9.6K 822 36
                                        

Masih puasa? Nggak kerasa udah mau lebaran aja

Adakah yang mau ngirim kue lebaran untuk authornya? Elah, ngarep banget

Iya, berhubung lagi ada waktu, aku update nih

Abis ini ada manis-manisnya kayaknya, tapi jangan timpuk Authornya ya, 

Ceritanya mungkin agak bikin greget karena gak nyampe happy happy

Namanya juga cerita, harus banyak bumbunya biar makin enak dibaca

Masak aja kalo kurang satu bumbu, pasti gak enak to?

#Apaancoba

Sebelum lebaran, mau promo buku dulu deh,

Iya, ada paket murah buku 'Panji dan Anjani' dan 'Finding Destiny' punya Putu Felicia

Ayo pada beli dong, lumayan loh dapet pouch, notebook, dan pena 

Ayo pada beli dong, lumayan loh dapet pouch, notebook, dan pena 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading,

Setelah peristiwa itu, aku terpaksa menuruti nasehat Reza jika tidak ingin babak belur kembali. Ketika Ramon datang kembali sore harinya, aku beralasan tidak bisa keluar karena agak lelah.

Aku terpaksa hanya duduk di taman belakang bersamanya, dengan pengawasan ketat dari Reza tentunya. Sesungguhnya aku tidak kekurangan apapun, karena lemari pakaianku penuh dengan segala macam gaun dan segala perlengkapannya. Edward membelikannya langsung dari Singapura, dan leganya karena Ivone tidak berani mengusiknya. Wanita itu hanya menatapnya dengan pandangan iri, padahal aku tahu, dia menghabiskan ratusan juta uang Edward hanya untuk kesenangannya.

Dan pagi ini aku terbangun dengan terkejut, ketika mendapati sosoknya telah berada di kamarku. Namun tidak ada senyum di wajah bersih habis bercukurnya, matanya sedemikian dingin hingga tanpa sadar telah membuat seluruh permukaan kulitku meremang.

"Kau sudah pulang?" tanyaku sambil melipat selimut dan merapikan tempat tidur. Tanpa membersihkan muka terlebih dahulu, aku menyeberangi ruangan demi dapat bersitatap dengannya.

Aku mengulurkan tangan seperti biasa untuk mencium tangannya, namun dirinya masih bergeming di tepian jendela dengan sikap dinginnya. Aku terpaksa mengalah, dengan berdiri di sisinya sambil menatap kehijauan taman di bawah jendela.

"Sudah berapa lama kau dekat dengannya?" tanyanya tanpa menoleh, hingga membuat pikiranku dipenuhi beragam spekulasi.

"Maksudnya siapa?" tanyaku yang masih tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Sepagi ini auranya sudah sangat menakutkan, seolah aku telah berbuat sebuah kesalahan yang demikian besar.

Dadaku terasa nyeri, menahan tatapannya yang sedemikian dingin menusuk. Dia bukan sosok hangat yang selama ini aku rindukan, dia kembali tetapi sudah berubah. Rasa curiga dan ketidak percayaan jelas tergambar dari bola matanya, dan semuanya dituduhkan kepadaku.

Dear, Sasi (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang