Bab 7

13.1K 921 27
                                        


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Halooo, iam back

Setelah beberapa lama harus sibuk dengan dunia nyata yang menyita tenaga dan waktu

Happy reading all, ditunggu vote dan komentnya yaaaaaaaa

Ini tidak mungkin terjadi!

Bukan hanya aku yang sudah bersimbah airmata, namun juga ayah dan ibuku. Tega sekali kak Luna melukai perasaan kami, bukan hanya rasa malu yang harus kami tanggun namun juga rasa marah akan sikapnya yang kekanak-kanakan. Aku masih memeluk ibuku, ketika suara para saksi mengatakan 'sah' seakan sembilu yang menghunus jantungku. Seharusnya aku bahagia, tetapi rasa pedih justru memberenggut seluruh kesadaranku.

Airmataku jatuh kembali, tidak peduli lagi pada kebaya mahal yang aku kenakan kini semakin kusut saja. Bukan pernikahan seperti ini yang aku inginkan, meski itu dengan lelaki impianku. Aku merasakan pelukan ibuku mengendur, tangan yang mulai keriput itu mengusap airmata yang masih setia mengalir di pipiku. Aku enggan keluar dari kamarku, terlebih pernikahan ini seharusnya bukanlah milikku.

Seseorang mengetuk pintu kamarku pelan, aku menoleh sejenak demi bersitatap dengan mata teduh ayah yang terlihat tidak kalah sedih. "Keluar nak, suamimu sudah menunggumu."

"Bu, aku tidak mau." Airmataku luruh kembali di pangkuan ibuku. Tangan gemetar ibuku mengusap punggungku lembut, seolah hendak menguatkanku.

"Sayang, semua sudah terjadi. Kamu yang tabah ya, nak." Ibuku membujukku dengan kata-kata menenangkannya, yang sialnya berhasil juga membungkam tangisku.

"Apa yang akan terjadi dengan masa depanku? Mengapa kak Luna tega sekali melakukan ini kepada kita?" Mungkin sekarang kakakku yang bak rubah itu tengah meniknati liburannya di sebuah negara eksotik, meninggalkanku yang harus bertanggungjawab atas perbuatan amoralnya.

"Berfikirlah positif saja, karena ibu sangat yakin jika Edward adalah lelaki yang sangat baik." Ibuku benar, lelaki itu memang bak malaikat tetapi sebelum seorang iblis cantik mengkhianatinya.

"Entahlah, bu." Akhirnya aku turun ke bawah dengan langkah ragu dan sangat pelan. Riasanku sudah dirapikan kembali oleh ibuku, hingga aku terlihat layak sebagai seorang mempelai. Namun bengkak besar pada kedua mataku tidak sepenuhnya dapat tertutupi dengan baik. Setidaknya aku memiliki harapan, Edward tidak akan menganggapku sebagai gadis yang dengan senang hati menggantikan posisi kakaknya yang kabur dengan pria lain di hari pernikahannya.

Aku sangat berharap jarak kamar tidurku dengan ruang tamu masih jauh, setidaknya memerlukan satu hari satu malam perjalanan. Sayangnya, harapanku hanyalah khayalan saja. Dengan bimbingan ibuku, aku sudah duduk di samping Edward yang sialnya lagi, terlihat sangat tampan dengan setelan jas berwarna putih yang dikenakannya. Aku tidak berani menatapnya ketika cincin pernikahan itu, ia sematkan di jari manisku.

Tanganku gemetaran ketika giliranku memasangkan cincin platina di jari manisnya. Aku berusaha menguatkan hatiku, mencoba menutup seluruh inderaku dari segala perasaan campur aduk yang seolah mau meledakkan isi dadaku. Ajaibnya, aku sama sekali tidak menangis.

Dear, Sasi (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang