Bab 8

13K 948 20
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Apa om marah padaku juga?" tanyaku ketika tidak ada satu katapun terlontar dari bibir lelaki itu. Kami sudah duduk di dalam mobil yang akan membawaku ke kediamannya.

Meski tidak ingin meninggalkan sarang nyamanku, tetapi status baru sebagai istri Edward Castleford membuatku terpaksa pergi dari rumah. Masih tergambar jelas di pelupuk mataku, suasana kamarku yang selalu tenang dan membuatku betah. Kebersamaanku dengan kedua orangtuaku, meski sangat jarang kami bercengkrama namun kami memiliki hubungan yang dekat. Selelah apapun mereka, selalu ada waktu untukku mencurahkan segala isi hatiku.

"Aku tidak menyangka saja bahwa kakakmu mengkhianatiku seperti ini!" Itu bukan jawaban dari pertanyaan yang aku lontarkan, namun sebisa mungkin aku tidak ingin mengusik hatinya yang masih panas.

Aku akhirnya memilih diam, membiarkan kesunyian mencengkeram di sekitar kami. Dulu aku memimpikan dirinya sebagai pendampingku, akan tetapi kenyataan ini seakan menamparku hingga ke titik nadir. Sinar matanya tidak sehangat dulu, bibirnya tak lagi terhias senyum indah, dan aku mulai diliputi rasa takut.

"Kamu tahu siapa pria itu?" Tanya pria itu dengan nada dingin, seolah dia sedang menuduhku telah bersekongkol dengan kakakku. Aku hanya menggeleng pelan, tidak berani menantang tatapan penuh amarahnya. "kamu bohong!"

"Itu benar, aku tidak pernah berdusta kepada siapapun!" Betapa dada ini sakit mendengar tuduhannya, apakah dia pikir kehancuran ini hanya miliknya?

Aku harus kehilangan masa depanku, dengan menikah di usia muda dan bersama lelaki yang sama sekali tidak menginginkanku. Apakah ini sepadan dengan rasa yang selama ini aku rasakan kepadanya? Jauh di lubuk hatiku, aku menjerit menahan segala emosiku. Seharusnya aku memiliki sahabat yang mau berbagi keluh kesahku, tetapi merekapun kini sedang menikmati kebersamaan dengan keluarga mereka.

"Mungkin saja kebaikanmu selama ini hanyalah kedok, agar aku dapat teralihkan atas apa yang sedang dilakukan kakakmu di luaran sana!"

Aku melotot tidak percaya dengan tuduhan kejinya, namun sorot mata itu memang seakan sudah mati. Dia begitu dingin dan tidak terjangkau olehku, seolah kami memang berada di dua dunia yang berbeda.

"Itu tidak benar! Semua yang aku lakukan selama ini, tulus untuk membantu kalian berdua." Ungkapku tulus, berharap pria itu menarik kata-katanya kembali.

"Pikiran orang siapa yang tahu? Mungkin saja kamu sudah memiliki kesepakatan dengan kakakmu."

"Kesepakatan apa?"

"Kakakmu bebas melenggang dengan lelaki pilihannya, dan kamu akan diberi kesempatan untuk merayuku. Bukankah kalian bersaudara, kelakuan dua orang kakak adik biasanya tidak ada bedanya."

"Tega sekali Om menuduhku seperti itu!" Teriakku menahan lahar mendidih yang hendak keluar dari kawah kepundannya, dan satu tanganku mendarat manis di pipi halusnya hingga meninggalkan jejak merah di sana.

Dear, Sasi (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang