Bab 19

9.8K 779 18
                                    

Helloooo, ini masih suasana lebaran kan ya? Iya, makasih banget buat yang kemarin udah pada nggak sabar nanyain kapan cerita ini berlanjut. Maaf juga kalo ada yang komen nggak sempet di bales. Bukannya saya sombong ya, bukaaan tapi terkadang lupa buat bales.

Pokoknya terima kasih banget buat kalian yang sudah mau baca kisah receh ini.

Ini update, itung-itung buat THR ya heeee

Jangan lupa lapak sebelah juga ditengokin nanti ya,

Mohon maaf lahir batin buat kalian semua, semoga authornya tambah semangat update


More typo ya, soalnya yang diunggah ini draf pertama dan edit masih on going gitu

Tinggalin vote dan komentarnya dong ya, biar nanti updatenya lebih cepet.



Sudah berapa lama aku tidak pernah merasakan tidur senyenyak ini? Gemericik air dari air terjun buatan dan suasana sejuk di Penthaouse milik Edward, sungguh sudah membuaiku hingga serasa terhipnotis. Sprei sutra yang lembut seolah menyatu dengan kulitku, meski tidak berselimut tetap saja kehangatan membuatku terlena.

Namun suara ketukan keras di pintu masuk, membuatku terpaksa beranjak dari segala kenyamanan itu. Aku terperanjat ketika menemukan sosok Pak Kasno yang memapah tubuh bongsor Edward dengan susah payah.

"Apa yang terjadi, Pak?" tanyaku dengan suara bergetar, kepanikan mulai melanda hatiku terlebih melihat kondisi Edward yang sama sekali tidak bergerak. Setelah membuka pintu selebar mungkin, aku ikut memapah tubuh Edward ke dalam ruangan.

Setelah susah payah, akhirnya kami berhasil membawanya berbaring di atas ranjang. "Tolong, ambilkan air minum untuk Tuan, ya Pak." tangan Ed terasa dingin, dan aku menggosok-gosoknya dengan tidak sabar.

"Tapi Tuan sedang pingsan, Nya. Memangnya air minum untuk siapa?" aku menepuk jidatku, sementara Pak Kasno menggeleng sambil menahan senyumnya.

"Pak, memangnya apa yang sudah terjadi kepadanya? Kok bisa pingsan gini sih!"

"Sepertinya Tuan minum agak banyak tadi. Tuan Edward adalah orang terakhir yang keluar dari rumah itu, tadi saya lihat Non Lidya berusaha menahan Tuan, tetapi beliau bersikeras akan pulang."

"Lalu?"

"Sewaktu di mobil, Tuan mengeluh kepalanya mau pecah. Tidak berapa lama kemudian, Tuan justru sudah pingsan di kursinya. Saya sudah berusaha ngebut, tapi kemacetan menahan saya. Karena takut terjadi sesuatu, akhirnya saya putuskan untuk membawa Tuan ke sini saja, selain dekat jika terjadi sesuatu nanti akan cepat dapat ditolong."

"Terima kasih, Pak. Mudah-mudahan tidak terjadi apapun kepadanya."

"Iya, Nya. Sekarang apa yang akan kita lakukan?"

Suhu tubuhnya normal, jadi aku pikir dia pingsan hanya karena mabuk. Tanganku sudah melepaskan dasi kupu-kupu yang dikenakannya, melepaskan beberapa kancing kemejanya, dan melonggarkan ikat pinggangnya.

"Sepertinya di sini sama sekali tidak ada persediaan makanan. Tolong Bapak carikan kita makanan instan dan juga air mineral. Takutnya jika nanti Tuan bangun, belum ada air untuk meredakan rasa mabuknya."

"Kalau begitu, saya turun dulu ya, Nya."

"Iya, terima kasih ya Pak."

Begitu Pak Kasno menutup pintu, tanpa sadar aku menghembuskan nafas yang sedari tadi tertahan di dada. Mataku kembali mengawasinya, ketika geliat samar mulai ditunjukkan tubuhnya. Aku membantunya melepaskan satu persatu baju yang dikenakannya, ketika mulutnya merintih kepanasan.

Dear, Sasi (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang