Maaf sebelumnya jika cerita ini updatenya lamaaa
Kabar baiknya, sepertinya ada salah satu penerbit Indie yang tertarik untuk menerbitkan cerita ini. Kata Pak Ustadz an tidak boleh menolak rejeki yang datang kepada kita. Jadi, yang nanti kepengin meluk Sasi dan Edward dalam bentuk buku, boleh pesen kalo udah buka PO yaaa. Coming soon deh
Daaaan kabar buruknya, mungkin ini adalah part akhir yang akan diunggah di wattpad. Soalnya maunya Penerbir begitu, jadi mohon maaf yang penisirin dengan ceritanya Sasi. Sebenarnya aku juga nggak enak sama kalian, tapi biar nggak penasaran mending nanti kalian pesen bukunya aja deh, haaahahaaa ( ujung-ujungnya gitu )
Terima kasih buat kalian yang udah mau mampir baca cerita ini, dan terima kasih juga yang sudah kasih vote dan komentarnya yaa, mudah-mudahan nanti ada yang minat jika udah dijadiin buku...amin
Met baca aja ya all,
Aku terbangun pagi harinya dengan kepala agak pening. Sepertinya aku sedikit masuk angin, tetapi bayangan penyiksaan dari Ivone dan kroninya membuatku terpaksa menahan rasa tidak enak pada tubuhku. Untung saja bunyi alarm di ponselku berhasil membuatku terjaga dari alam mimpi, jika tidak mungkin aku akan masih bergelung menikmati liburanku seperti di rumah.
Setelah membersihkan tubuh dan menunaikan kewajibanku, akupun bersiap untuk menuju ke dapur. Sekali lagi aku menatap selimut tebal berwarna coklat pemberian Reza tadi malam, entah aku harus berterima kasih atau tidak. Aku menimbang sejenak, ketika pemikiran jika aku mengatakannya mungkin akan menimbulkan masalah, maka gagasan itu aku telan bulat-bulat kembali. Toh, dia berfikir aku sedang terlelap, jadi kemungkinan Reza menyangka aku tidak mengetahui kehadirannya.
Aku sudah mengenakan kaos longgar dengan paduan celana berbahan jeans sepanjang lutut, ketika pintu kamarku di ketuk dari luar. Aku tidak terkejut lagi, ketika menemukan Lea tengah berdiri angkuh di muka pintuku. Sepertinya dia memiliki masalah dengan insomnia, kantung matanya terlalu tebal jika tidak memakai polesan tebal seperti pagi ini.
"Ya mbak, ada apa?" Aku berusaha untuk tidak terintimidasi dengan tatapannya yang seolah hendak membunuhku.
"Kamu mengerti apa tugasmu di rumah ini kan?" Wanita itu menilaiku kembali, ia bersidekap dengan wajah sedatar pantat panci.
"Iya. Tapi jika sudah selesai, bolehkah aku mengunjungi rumah orangtuaku?" Pintaku sedikit memohon. Bagaimanapun aku membutuhkan udara segar, baru sehari di sini hidupku serasa seperti di neraka.
"Dalam mimpimu!" Lea berujar sambil berlalu dari hadapanku.
Ini pasti tidak akan mudah, mereka berlaku layaknya nyonya rumah ketika Edward tidak ada. Perlakuan mereka tidak akan membaik, tetapi aku juga tidak ingin menyerah. Setidaknya, aku ingin pelukan dari ibuku, meski aku tidak mungkin bercerita mengenai kondisiku di tempat ini.
"Mbak, tolonglah! Aku hanya ingin bertemu ibu sebentar, setidaknya sampaikan ini ke tante Ivone." Aku berlari mengejarnya dan berusaha membujuknya kembali dengan nada selembut mungkin.
Aku sudah memegangi tangannya, namun dengan kasar ia menepiskannya seolah aku adalah makhluk menjijikkan. Aku mundur selangkah dengan tubuh agak gemetar, ketika matanya menatapku kembali dengan dinginnya.
"Lea, ada apa lagi ini? Dia membuat keributan lagi?" Ivone berseru dari arah pintu dapur dengan tatapan tak kalah ganas.
"Biasa tante! Dasar anak tidak tahu diri!"
Aku melihat Ivone mendekat ke arah kami, tanpa diduga satu tangannya menjabak rambutku dengan kasar. Aku menjerit sambil berusaha melepaskan genggaman tangannya dari rambutku, tapi cengkramannya seperti ular yang membelit.
"Tante, lepaskan! Sakit! Aku mohon!" Rintihku dengan airmata merebak, menahan rasa pedih di tempat rambutku di jambak dengan tidak berperikemanusiaan. "tante, aku mohon!"
***
Ugh! Tubuhku terhuyung dan jatuh membentur paving block ketika wanita itu akhirnya mau melepaskan tangannya. Dia sengaja mendorongku dengan keras, hingga aku merasa kepalaku agak berkunang-kunang. Aku yakin beberapa helai rambutku ada yang rontok, bahkan ada yang tertinggal di sela jari Ivone.
Ivone mendekatiku, tangannya mencengkeram erat daguku hingga terasa sakit. "Dengar! Kamu di sini tidak lebih hanya sekedar budak bagi kami! Baiklah, mungkin kami akan sedikit berbaik hati kepadamu jika Ed ada di rumah, tapi jika dia pergi, maka kamilah ratunya!"
"Kenapa kalian melakukan hal seperti ini? Apa salahku kepada kalian?" Tanyaku mencoba melepaskan daguku yang terasa kebas, namun wanita itu masih bergeming. Dengan terpaksa, tatapan kami bertemu pada satu titik, dan wanita itu tersenyum demikian licik.
"Tidak seharusnya Ed menikahi gadis biasa sepertimu! Kamu lihat Lea dan Keira bukan? Seharusnya Ed menikahi salah satu di antara mereka, bukan dirimu gadis pengganti! Akan aku pastikan, kamu tidak akan memperoleh apapun di sini selain penderitaan tiada tara!"
"Kalian jahat sekali!"
"Diam! Lakukan semua yang telah kami perintahkan kepadamu, atau kamu akan kami siksa hingga setengah gila!"
Ya tuhan! Apa dosaku hingga mereka berlaku demikian hina kepadaku. Cukup Ed yang membenci dan tidak menginginkanku, jangan lagi ditambahi dengan mereka yang bermental psiko.
Tubuhku meluruh kembali dalam tangis tidak berkesudahan, bahkan pagipun berhias awan mendung seolah ikut merasakan kesedihan yang tengah aku rasakan. Aku ingin menjerit, dan melarikan diri saja dari sana, tetapi pikiran para penjaga juga kroni mereka membuatku agak sedikit gentar.
Dengan langkah tertatih, akhirnya aku berjalan menuju ke dapur. Di sana bibi Suli tengah berdiri di samping Keira, menatapku dengan penuh rasa prihatin.
"Buatkan kami nasi goreng, dan juga jus jeruk! Waktumu hanya tiga puluh menit, buat yang enak atau kamu akan kami perlakukan seperti binatang kudisan!" Ancam Keira langsung membuat mentalku jatuh di paling bawah. "jangan coba-coba meminta bantuan bibi!"
"I-iya, aku tahu!" Kataku patuh, memangnya apa lagi yang dapat aku lakukan jika kemungkinan aku menang tidak ada? Mereka satu kelompok serigala berbulu domba, dan mereka sangat pandai memanfaatkan situasi peperangan di antara aku dan Edward.
Mengapa dia meninggalkanku sendirian? Tidakkah dia sadar, jika aku di tempatkan di sarang penyamun paling berbahaya? Setidaknya, dia berpamitan dahulu kepadaku, menganggapku meski sedetik sebagai makhluk yang memiliki wujud nyata.
Dengan perasaan masih kacau balau, aku akhirnya melakukan perintah mereka. Memasak nasi goreng, karena sepertinya bibi sudah menanak nasi cukup banyak di rice cooker maka tugasku menjadi lebih ringan.
Aku bekerja dalam diam, terlalu enggan meski itu hanya sekedar menyapa bibi yang berdiri mematung di sudut dapur. Aku berusaha menulikan telingaku, ketika terdengar isak pelan dari bibir wanita itu. Hatiku seperti tergores, ingin rasanya memeluk wanita tua baik hati itu, menghiburnya bahwa aku baik-baik saja. Tapi kewajibanku belum selesai, dan resiko yang nanti akan aku tanggung juga terlalu berat.
Love,
Maya

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Sasi (Sudah Terbit)
RomanceSasi Kirania, gadis 19 tahun yang terpaksa terjebak dalam sebuah pernikahan yang tidak diinginkannya bersama seorang pria keturunan ningrat Inggris. Dia hanyalah pengganti dari kakaknya, yang melarikan diri di hari pernikahannya. Meski sesungguhnya...