Bab 11

12.1K 711 47
                                        

Halloooow, seperti janjiku kemarin jika cerita ini akan aku repost lagi

Ini masih lanjutan kisah mereka ya,

Dan semoga nanti bisa repost sampai tamat, minta dukungan dari kalian yaa

Bab ini belum aku edit lagi, karena dari part pertama masih utuh hingga bab inipun masih lanjutan yang belum di edit. Typo bertebaran

Selamat membaca


"Kamu ingin meracuni kami ya?" Teriak ketiga wanita di meja makan itu hampir bersamaan, aku sampai terlonjak ketika mereka membanting sendok dan garpu dengan suara keras.

Aku benar-benar seperti seorang pesakitan sekarang, berdiri di tepi meja sambil melayani mereka, menerima cacian demi cacian yang terlontar dari bibir bergincu mahal mereka. Dan kini, mereka membuat telingaku tuli dengan kemarahan mereka yang seolah sengaja selalu disulut.

"Tidak! Aku bersumpah tidak menaruh bahan berbahaya di nasi goreng tadi." Aku berusaha membela diriku, perutku keroncongan belum terisi apapun hanya demi memenuhi keinginan mereka. Dan kini seenaknya mereka menyalahkanku, menuduhku dengan fitnah yang sungguh sangat kejam.

"Kalau begitu, duduk di sini dan habiskan semua nasi goreng ini sekarang!" Perintah Ivone seperti ultimatum untukku, dengan ragu aku mulai duduk di kursi besar di bagian kepala meja. Sepertinya itu adalah kursi kebesaran Edward, dan aku duduk dengan tidak nyaman di bawah tatapan menghujam mereka. Reza sama sekali tidak membantu, dia lebih memilih diam sambil memasukkan irisan demi irisan roti tawar dengan olesan selai coklat.

"Habiskan ini!" Lea menyodorkan piringnya yang masih penuh, sementara aku menatap bingung pada nasi yang masih mengepulkan asap itu. "Ambil sendok dan makan sampai habis!"

Dengan tangan yang sudah basah oleh keringat, aku mengambil satu sendok dari wadahnya. Aku melirik sejenak kepada mereka yang masih duduk sambil bersedekap dan menatapku tidak berkedip.

Satu sendok, dua sendok, dan---aku mulai merasa ada yang aneh.

"Ini—ini asin sekali." Kataku bergetar mulai merasakan aura tidak bersahabat di sekitarku. Aku ingat ketika tadi sedang memasak sambil menangis, tidak melihat takaran bumbu yang aku masukkan ke dalam wajan. Dan hasilnya?

"Sekarang makan semua masakanmu itu sampai habis!"

"Tapi tante, itu tidak mungkin! Rasanya---rasanya sangat tidak enak." Airmataku sudah mulai bergulir di ujung mataku, tetapi kelihatannya mereka sama sekali masih bergeming.

"Jangan! Aku mohon! Aku tidak sengaja melakukannya, aku---aku---" Keira dan Lea entah sejak kapan sudah menahan tubuhku agar tetap bersandar di kursi. Aku yang panik, berusaha untuk memberontak meski usahaku kembali sia-sia.

"Buka mulutmu!" Perintah Ivone yang sudah mengambil satu sendok penuh nasi goreng asin itu di depan mulutku. Aku berusaha mengunci mulutku rapat-rapat, menggeleng sekuat tenaga, dan berusaha melarikan diri dari tawanan Keira dan Lea.

"Argh---Sakiiit!" Rintihku ketika Lea dengan kejamnya menarik rambutku keras. Ivone memanfaatkan kesempatan itu untuk memasukkan nasi goreng panas itu ke mulutku dengan gerakan cepat hingga aku tidak mampu menolaknya. Penyiksaan mereka membuatku terpaksa terus menelannya tanpa merasakan apapun, karena Lea semakin keras menarik rambutku.

Punggungku menempel erat di sandaran kursi, karena Kiera dan Lea menahan kedua bahuku begitu kuat. Sementara satu tangan Lea terus menarik rambutku tanpa mengenal ampun, tangan Keira menahan rahangku agar tepa mendongak hingga ibunya leluasa menjejalkan semua nasi itu ke mulutku. Aku menangis berharap mereka memiliki sedikit hati untuk tidak meyiksaku lebih lama, namun nyatanya mereka tidak peduli.

Mulutku sudah terasa kebas karena makanan panas yang entah sudah berapa banyak masuk ke dalam tenggorokanku, tanpa jeda dan tanpa sedikitpun setetes air. Rasanya ingin sekali bumi menelanku saja, atau biar tubuh ini berubah menjadi kupu-kupu agar dapat terbang melepaskan diri dari mereka.

"Sudah, ma?" Keira bertanya kepada Ivone yang sudah berhenti memasukkan sendoknya kemulutku.

Wanita itu menatapku dengan wajah puas, matanya melihat sejenak pada tumpukan piring licin di atas meja. Semua isi piring-piring itu sudah masuk ke dalam perutku semua, tanpa menyisakan sedikitpun di wadahnya.

"Enak bukan? Ini sebagai pembelajaran bagimu, lain kali jika memasak, jangan seperti ini lagi! Bereskan semua ini, setelah itu bersihkan kamar-kamar kami!" Ivone berbicara tepat di depan wajahku, dan bau parfumnya membuatku agak mual.

"Mengerti kan manis?" Lea menarik rambutku kembali hingga aku harus meringis menahan pedihnya.

"I—iya, aku mengerti." Jawabku lemah, berusaha menahan denyutan pedih di seluruh permukaan kepalaku. Lea akhirnya melepaskan cengkramannya, membuatku sedikit bernafas lega meski rasa sakitnya masih tidak tertahan.

"Reza, sudahi sarapanmu. Sekarang kita harus ke kantor Theo secepatnya!" Perintah Ivone kepada anak lelakinya yang terlihat masih santai menikmati makanannya.

Lelaki itu menyesap kopinya dengan nikmat, sebelum mengalihkan tatapannya kepada ibunya, "Sebentar ma! Kalian tunggu saja di depan, sebentar lagi aku selesai!"

Ketiga wanita itu meninggalkan ruang makan dengan gaya angkuh, tanpa peduli lagi kepada keadaanku yang kacau. Dengan tangan gemetar, aku mencoba meraih gelas berisi air putih di depanku. namun seseorang dengan sigap mengulurkannya kepadaku.

"Terima kasih." Kataku serupa bisikan karena tenggorokanku rasanya begitu sakit dan panas.

Reza hanya mengangguk tanpa ekspresi, dia memperhatikanku menelan air dengan susah payah. Mulutku serasa terbakar, tidak merasakan apapun lagi hingga airmata kembali menggenang di pelupuk mataku.

"Dasar bodoh!" Ujar Reza dingin, setelahnya dia mengangkat tas kerjanya untuk kemudian berlalu menuju ke halaman di mana ketiga wanita itu sedang menunggunya.



Regard,


Maya



Dear, Sasi (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang