Bab 20

11K 763 50
                                        

Sebelumnya promo dulu yeee

Pada mampir di lapak Petualangan Seribu Cinta ya, ada banyak perubahan di sana


Ini Sasi makin ngenes kayaknya



"Ramon, apa yang sedang kau lakukan di sini?" decakku tidak percaya, ketika melihat lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu kamarku. Dia tersenyum lebar kepadaku, nyaris sebuah tawa tanpa suara. Tanpa menunggu persetujuanku, dia berjalan memasuki kamarku, seolah dia memang berhak melakukan itu.

"Kamar yang lumayan besar dan indah," katanya dengan sepasang bola matanya bergulir menyusuri tiap sudut kamarku. Tanpa disuruh, dia duduk di tepi ranjangku yang besar, menyilangkan kedua kakinya dengan elegan, sementara satu tangannya meraih satu-satunya bingkai foto Edward di kamar itu, "ehm, tampan."

"Siapa?" tanyaku penuh selidik, aku duduk menjajarinya dan mulai menatap foto yang berada di tangannya. "Itu satu-satunya benda miliknya yang membuatku makin jatuh cinta kepadanya."

Entah mengapa, aku merasakan ada ketegangan yang melanda tubuh Ramon. Lelaki itu bergeming kaku di tempatnya, sementara buku-buku jari yang mencengkeram sisi bingkai, terlihat mengerat.

Intuisiku sebagai seorang wanita tidaklah tumpul, terlebih aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun. Tapi, kenyataan ini seolah menamparku sedemikian keras. Sahabat yang sangat kusayangi, kusangka sudah tahu luar dalam sikap dan sifatnya, ternyata muncul hanya demi seseorang.

Ramon ada di sini, menemaniku setiap membutuhkan, bukan karena alasan dia ingin dekat dengan Reza, atau karena dia merindukanku. Tetapi karena dia ingin mendekati seseorang, lelaki yang dia tahu tidak pernah mengharapkan diriku.

"Kenapa? Apa salahku kepadamu? Teganya kau juga melakukan hal paling keji ini kepadaku!" tetes gerimis itu kini sudah menjadi banjir yang mampu menjebol pertahananku. Rasa sakit di dadaku, melebihi rasa sakitku ketika semua orang di rumah ini menyiksaku setiap hari.

"Sasi, aku bisa menjelaskan semuanya!" bujuknya sambil mencoba menenangkanku. Kemarin mungkin aku masih dapat dibujuknya, tetapi hari ini segalanya sudah terasa jelas bagiku.

Ramon tidak pernah mencoba menolongku dari kekejian Reza, dia selalu muncul dengan dalih ingin bertemu denganku di rumah ini hanya jika Edward sedang tinggal. Dia seolah memang hendak menjadi pahlawanku, tetapi pada kenyataannya dia sama busuknya dengan yang lain.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi! Kau pikir, aku ini anak kemarin sore? Aku mengenalmu seperti aku dapat merasakan kulitku sendiri! Aku pikir setelah sekian lama kita tidak bertemu, kamu masih Ramonku yang dulu. Tapi ternyata, kau sudah berubah demikian banyak. Aku—aku merasa tidak lagi mengenalmu!"

Dia tertegun sementara matanya nyalang menatapku yang sudah bersimbah airmata. Angin sore menyalurkan sedikit kesejukan, mengalir lembut lewat jendela yang terbuka lebar. Dadaku kian perih, manakala tetiba dia berlutut di lututku sambil menggenggam erat jemari kedua tanganku.

"Sasi, maafkan aku! Ternyata selama ini aku sangat egois dan pengecut. Tidak seharusnya aku menyimpan perasaan ini kepadanya, karena lambat laun kau pasti akan mengetahuinya. Maafkan aku, maafkan atas ketidakpedulianku selama ini."

"Cukup! Tidak perlu bersandiwara lagi di depanku! Teganya kau menyimpan perasaan seperti itu kepada suami sahabatmu sendiri! Teganya kau membiarkan kekasih tercintamu itu, berbuat seenaknya kepadaku!"

Dia mengencangkan genggamannya hingga tanganku terasa perih, "Maafkan aku! Aku berjanji akan menjauh selamanya dari kalian, asalkan kau tidak membenciku. Sasi, aku mohon jangan pernah meragukan rasa sayangku kepadamu."

Dear, Sasi (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang