Bab 21

11.4K 922 31
                                    

Ada yang bawa golok? Kemarin ada yang nangis gak? Sorry ya kalo ceritanya bikin tambah senewen. Ini kali pertama aku bikin cerita yang menye-menye banget gini.

Masih ada 2 bab tersisa, ada 2 bab extra tapi nanti aku revisi dulu daaaan kalo mo cetak ada yang mau beli nggak? Iya, rencana tuh extra part hanya ada di versi buku heheeee

Yaelah, Authornya jangan ditimpuk batu batalah, timpuk duit aja sini segepok.

Yang jelas Author nggak suka cerita yang sad ending kok, pasti bakalan dibikin happy ending, tapi nggak tau nanti happynya maksa apa kagak. Pendapat orang beda-beda ya, dan kalo nggak sesuai ekspektasi kalian, yaaa Author ya Author, kamu ya kamu, iya nggak sih?

Nggak ada yang sempurna di dunia ini. Jangan bandingkan pula diriku dengan Author lain. Karena aku juga lagi tahap belajar. 

So, happy reading, dan kalo gak suka dengan cerita receh ini gak ada yang maksa buat baca. Dan kalo ada yang masih setia pantengin cerita ini, makasiiiiih banget.

So, jika kalian kepengaruh senewen plus pengin becek-becek mereka, artinya tokohku udah mempengaruhi kalian hahaaaaaaaa #ketawasetan


Udah ah, apaan sih

More typo ya


Satu tahun kemudian...

Aku menghirup udara pagi dalam-dalam, mengisi paru-paru sebanyak mungkin dengan semilir angin yang berhembus lembut. Rasa damai dan tenang segera menelusup ke dalam dadaku, membuat diriku melupakan semua beban berat yang masih saja menghantui. Aku memejamkan kedua kelopak mataku, merasakan setiap inci tubuhku dirambati ketenangan yang mengendurkan syaraf di seluruh tubuhku.

Rasanya sudah begitu lama aku tidak merasakan perasaan seperti itu, tepatnya semenjak beberapa orang telah merenggut kebahagakuan dalam hidupku. Satu-satunya sumber kehidupanku telah direnggut dari rengkuhanku secara paksa, hingga aku harus merasakan jatuh bangun, pahit getirnya kehidupan di usiaku yang baru genap dua puluh tahun.

Desa di mana kini aku tinggal, telah memberikan kehidupan baru yang semua orang dambakan. Sambutan ramah masyarakatnya, menghangatkan kembali hatiku yang semula beku karena kurangnya rasa percaya lagi kepada oranglain. Suasana kekeluargaan dan lingkungan yang damai berangsur-angsur menyembuhkan luka dalam yang tertoreh di hatiku.

Semburat sinar matahari pagi membuat kulit putihku merona merah, sementara sebaris senyum mengembang di bibirku. Aku berjalan menyusuri jalanan kecil yang hanya muat untuk satu orang, di tengah ladang singkong milik para penduduk. Aku tidak perlu merasa takut, kendati jalan setapak yang kulalui itu agak jauh dari lingkungan rumah penduduk. Tingkat kejahatan terhadap orang lain di desa itu, dapat dikatakan tidak pernah ada. Mungkin memang ada satu dua orang jahat, tetapi mereka tidak lebih hanyalah para pencuri ayam milik para penduduk.

Aku terus berjalan dengan kaki telanjang, rasanya sangat menyenangkan ketika kulitku yang telanjang bersentuhan langsung dengan tanah kering akibat kemarau. Sesekali aku sengaja menyentuhkan kaki pada rerumputan di mana embun pagi yang segar bergelantungan dengan manjanya.

"Selamat pagi, Mbah," aku tersenyum kepada seorang nenek tua ketika langkahku melewati rumah pertama di pinggir ladang. Wanita itu terlihat sedang sibuk memetik daun singkong di depan gubuk sederhananya, ketika diriku melangkahkan kedua kaki mendekat. Aku tersenyum sumringah, ketika wanita tua itu menoleh lalu balas tersenyum demi melihatku sedang menghampirinya. "Jadi hari ini Mbah mau masak apa?"

Dear, Sasi (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang