"Lit, tungguin kek!"
Akhirnya setelah teriakkan gadis itu untuk yang ke-37 kalinya, Arif memutarkan wajahnya perlahan. Matahari memancarkan sinar hangatnya yang menyilaukan sudut wajah lelaki itu dari samping, membuatnya sedikit menyipitkan matanya. Ia menaikan kembali tas yang sudah hampir jatuh di satu sisi pundaknya.
Mulutnya tidak berhenti mengomel sambil melirik ke arah jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Lima menit belom kelar, gua tinggal." Jawab Arif tak sabar.
Gadis itu mendelik tak terima, hendak membantah, nasi yang sudah dikunyahnya berhamburan jatuh saat ia berbicara tak karuan. "Ish tadulu ighi jugha tinghhal dgua-"
"Telen dulu, Syif."
Sementara si empu-nya— Syifa—hanya menyengir, menunjukkan deretan giginya. Ia segera menghabiskan sarapannya, menyambar tas dan berlari kecil menghampiri lelaki yang sudah menunggunya itu.
"Kenapa sih lo serba lelet," Arif membuka suara selama perjalanan mereka menuju sekolah. Intonasinya menunjukan sebuah pernyataan bukan pertanyaan.
Syifa menendang kerikil yang ada didepannya, kemudian berbalik menatap Arif dan berjalan mundur. Matanya menyalang dan siap melontarkan sikap tak terimanya. Gadis itu begitu ekspresif sehingga terbaca jelas dimata Arif.
Arif menaikan sebelah alisnya, tak lama kemudian, Syifa sudah mengoceh. "Enak aja! Tadi tuh nyokap ke Bandung, jadi gue masak buat sarapan bokap. Gaktaunya nasi gorengnya gosong, hollyshit! Padahal udah gue masak hati-hati, makanya gue lupa belom mandi, belom beresin buku, belom-"
"Pr kimia juga belom?" sela Arif, ia
kemudian memperhatikan perubahan raut wajah Syifa. Dan benar saja, sedetik kemudian gadis itu berteriak nyaring.Gadis itu segera menepuh dahinya."Astaga! Yang halaman 76 esai?!"
"As always," gumam Arif sambil memutarkan kedua bola matanya. Syifa sudah berlari meninggalkan Arif demi mengerjakan pr kimianya, atau mungkin lebih tepatnya, menyalin pr teman.
Sementara Arif mengeluarkan handphone dari sakunya sambil berjalan. Gerbang sekolah tinggal beberapa langkah didepannya.
Memang inilah keuntungan memiliki rumah yang berdekatan dengan sekolah, walaupun tadi ia sedikit gelisah akan telat, nyatanya tidak terjadi karena jarak rumahnya yang dekat. Lagipula telat sekolah bukanlah suatu masalah baginya.
Tiba-tiba, seseorang memanggilnya dari kejauhan, lalu menghampirinya dengan larian kecil. "Kak Arif! Baru dateng juga?"
Arif hanya menangguk lirih. Ia kembali melirik handphonenya.
"Hmm.. tumben dateng agak siangan,"
Gadis itu mencoba mengajak bicara. Namanya Anggit. Kelas 10, beda setahun dengan dirinya. Parasnya yang cantik seringkali jadi bahan perbincangan dan juga sikapnya yang kelewat anggun. Kalau kata sebagian anak sih, cewek idaman.
"Tadi nungguin Syifa lama," jawab Arif tanpa mengalihkan pandangannya dari handphone. Anggit mengulum senyum. Pipinya menghangat mendengar suara Arif membalas sapaannya. Pertama kalinya kakak seniornya itu berbicara dengannya, penantiannya selama ini menyapa lelaki itu akhirnya terbalas!
"Ooh gitu..." Anggit salah tingkah hingga bingung untuk mengatakan apa. Saat langkah kakinya sudah berada didepan kelasnya. Ia tersenyum manis, "Duluan ya, kak."
"Ya," Arif berlalu meninggalkan sederetan koridor kelas sepuluh. Tanpa menyadari beberapa anak sepuluh yang memandanginya. Banyak kasak-kusuk para junior yang memuji dirinya, kadang membuat Arif risih.
Sementara Anggit memegangi dadanya yang berdebar kencang dibalik pintu kelasnya. Bibirnya melengkung dengan sendirinya.
¤¤¤
a.n
Hi, this is my new story!
Ini masih intro ya soooo masih short banget ahaha kalo banyak yang suka aku cepet2 publish chapter 1♡
KAMU SEDANG MEMBACA
BestFriend?
Teen FictionSyifa memang tak bisa jauh-jauh dari Arif, sahabatnya sejak kecil. Dulu, jika ada seseorang yang menganggu Syifa, Arif akan cepat hadir seperti superhero dan mengatakan bahwa dirinya sahabat Syifa yang akan selalu melindunginya. Sekarang, Arif pun a...