"You’re haunting me, taunting me all in my brain
Turn off the light and now all that remains
Fills me with doubt
And I’m shouting your name out loud
Why do you wanna put me through the pain?..."🎵Clean bandit - tears
[ XXI ]
Mata Syifa mulai terbuka seiring cahaya pagi yang menerobos masuk melalui celah jendela kamarnya. Syifa mengerjap sekali lagi. Ini benar kamarnya kan?
Ia mengarahkan pandangannya ke seluruh sudut kamar. Kamar berwarna hijau muda dengan aksen garis-garis putih. Iya ini benar kamarnya. Tapi... seingatnya ia terlelap di ruang UKS.
"Morning, putri tidur."
Terlihat Icha sedang cekikikan duduk diujung kasurnya. Syifa segera bangkit dari tidurnya, "Ini hari apa?"
"Kamis." Icha memutar kedua bola matanya. "Kemarin lo akhirnya dijemput nyokap lo karena susah banget dibangunin di UKS. Coba lo bayangin, Syif! Bayangin dan resapi! Lo tidur dari kemarin sore, gimana gue gak panik?! Makanya pagi-pagi gue sempetin jenguk."
Syifa terkekeh, "Bawel gue nular ke lo ya, Cha."
Icha ikut tertawa kecil, kemudian berkata lagi. "Udah jam 6 lewat 10, lo gak masuk sekolah nih, hari ini?"
"Iya, iya." Syifa mendengus.
"Yaudah gue tunggu luar, ya."
Icha bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Kemudian ia terdiam sebentar, dan memutar badannya menghadap Syifa. "Kemarin ada surat buat lo Syif, ada di UKS. Terus gue taro di meja belajar lo, tuh."
Dahi Syifa berkerut. Siapa?
Saat Icha meninggalkannya, Syifa beranjak mengambil surat itu. Setelah membacanya, ia tersenyum samar. "How can i stop falling in love with you?"
Syifa segera mengambil kasar surat itu lalu meremasnya dan membuang ke tempat sampah kamarnya. Kemudian ia memasuki kamar mandi dan bersiap-siap menuju sekolah.
***
"Gue? Jadi duta putri sekolah kita?"
Teman-teman sekelasnya serempak mengangguk, memandang Syifa penuh antusiasme. Baru saja gadis itu menginjakkan kakinya di kelas, ia dikejutkan dengan tawaran seperti itu.
Putra memutar bola matanya, "Gausah kayak mbak Anggun di iklan pantene, deh, Syif."
Syifa terkikik geli, kemudian menjitak kepala cowok dihadapannya itu. Tapi, serius, ia tak pernah berpikir dirinya se-famous itu sehingga dirinya yang dipilih sebagai duta sekolah. Karena setaunya, pemilihan untuk hal-hal tersebut dilakukan dengan cara voting satu sekolah. Bolehkah ia berbangga sedikit?
Baru saja ia ingin mengiyakan tawaran yang diberikan, rasa sakit perut kembali melandanya. Ia sedikit mengutuk nasib sialnya jika datang bulan, mengapa tadi ia tak berisitirahat saja dirumah kalau begini.
Melihat Syifa diam, Dikha angkat bicara, "Acaranya lusa. Dan untuk duta cowoknya itu Arkha. Gimana lo mau kan?"
"Gak, Syifa gak bisa." Suara bass yang tiba-tiba terdengar membuat semua orang menoleh ke arahnya. Suaranya terdengar tegas, tidak mengharapkan bantahan.
"Lah, Rif, tapi—" Icha mencoba berbicara, melihat Arif yang menolak tawaran tersebut.
"Dia lagi sakit, Cha. Gak mungkin ikut acaran gituan. Apalagi dari pagi sampe sore,"
Syifa menutup matanya sejenak, lalu mengambil nafas dan berkata. "Gue mau."
Arif menatap Syifa dengan kerutan didahinya. "Lo sakit, Syif. You don't have to, masih bisa diganti kok."
Gadis itu menggeleng kuat-kuat, "Gue sehat-sehat aja tuh."
"Setelah seharian pingsan, lo bilang sehat?" Arif berdecih singkat, melanjutkan lagi omongannya, "Lo gak usah."
Kemudian, Arif hendak keluar dari kerumunan, namun ucapan Syifa selanjutnya sontak membuatnya terhenyak dan berbalik kembali.
Gadis itu menatap Arif geram. "Who do you think you are?" Ia terkekeh singkat, "You're not even my boyfriend!"
Meskipun sedikit terkejut, Arif menaikan sebelah alisnya, menunggu kalimat yang akan dilontarkan kembali.
"Gue mau atau enggak, lo gak ada hak ikut campur urusan pribadi gue." ucap Syifa penuh penekanan.
Suasana berubah menjadi riuh. Jarang sekali, ada pertunjukan seperti ini. Lebih parahnya lagi, itu adalah Syifa dan Arif. Sepasang sahabat yang selalu menempel dan jarang seperti ini.
Tak mungkin hanya karena hal semacam Putra-Putri Sekolah, mereka bertengkar seperti ini. Pasti ada alasan yang sebenarnya dibalik pertengkaran mereka berdua.
Arif menatap Syifa datar, "Oke. Lo urus hidup lo sendiri, gua urus jalan hidup gua sendiri." Ia lalu berjalan keluar.
"IYA! Emang seharusnya kayak gitu! Lo..... bukan siapa-siapa gue." Tenggorokan Syifa terasa tercekat. Buliran-buliran bening yang dari tadi mendesak untuk keluar, kini mulai meluncur bebas di kedua pipi Syifa tanpa bisa dicegah.
Ia melanjutkan omongannya tertahan, sembari tangannya menepis kasar airmata dipipinya. "...dan gue bukan siapa-siapa lo. So, gaada alesan untuk saling ikut campur!"
Syifa berlari tak tentu arah. Perutnya memang sakit. Namun, hatinya jauh lebih sakit. Entah apa yang membuatnya berkata seperti itu, ia hanya lelah.
Lelah dimana ia baru memahami bahwa ia bukan siapa-siapa Arif. Mereka tidak ada ikatan apapun, hanya sahabat sedari kecil kemudian merangkap sebagai tetangga dan teman sekelas. Ia tidak seharusnya merasa cemburu saat Arif dekat dengan cewek lain.
Dan kenyataan itu membuatnya muak, akhirnya menumpahkan kekesalannya saat kejadian tadi. Ia kesal mengapa Arif begitu mengerti dirinya. Disaat yang lain tidak menyadari apa-apa, Arif lah yang sadar ia sedang tidak baik-baik saja.
Syifa hanya lelah dengan keadaan.
***
Opal nampak gusar di tempat duduknya. Ia berulangkali melihat jam tangannya, dan juga pintu. Berharap Syifa, teman sekelasnya itu cepat datang.
Semenjak insiden tadi pagi, Syifa belum kembali ke kelas. Tasnya pun tidak ada, memang tadi ia belum sempat menaruh tasnya dibangku. Dan sepertinya, gadis itu memilih bolos.
Gosip-gosip mengenai gadis itu dan Arif pun mulai menyebar luas dari mulut ke mulut. Kasak-kusuk lontaran omongan semakin menjadi-jadi.
Karena ini pertama kalinya, mereka melihat Syifa menangis. Ya, gadis tomboi yang terlihat sangat kuat dan biasanya melakukan hal konyol itu tiba-tiba terasa rapuh.
Opal bertukar pesan dengan Icha, ingin mengetahui keadaan Arif—karena icha sekelas dengan Arif. Dan jawaban Icha justru mengatakan bahwa Arif santai saja dibangkunya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Hanya menatap datar buku dimejanya, dan bersenandung kecil sesuai dengan lagu yang terputar melalui earphonenya. Justru Arkha yang terlihat bingung dan panik terus-terusan bertanya dimana Syifa sekarang.
Opal tahu bukannya Arif tak peduli, ka hanya pura-pura tak peduli. Opal mendengus, "Dasar tuh cowok selalu bisa nutupin perasaannya."
Bel dering tanda masuknya jam pelajaran pertama berbunyi, Opal hanya mendengus pasrah melihat bangku Syifa yang kosong. Ia berharap teman seperjuangan konyolnya itu baik-baik saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
BestFriend?
Teen FictionSyifa memang tak bisa jauh-jauh dari Arif, sahabatnya sejak kecil. Dulu, jika ada seseorang yang menganggu Syifa, Arif akan cepat hadir seperti superhero dan mengatakan bahwa dirinya sahabat Syifa yang akan selalu melindunginya. Sekarang, Arif pun a...