Anna berjalan masuk ke ruang lesnya dengan earphone di telinga, matanya terpaku di layar ponselnya.
"Ra!"
"Berisik ya, udah dibilang panggilnya Anna aja," ucap Anna pelan, tapi sebuah senyuman tipis tetap terukir di bibirnya.
"Nanti pulang les mau ke mana?" Tanya gadis yang tadi memanggilnya, Jovanca.
"Langsung pulang mungkin. Kenapa?" Tanya Anna sambil mengeluarkan binder dan tempat pensilnya dari tas.
"Abang gue hari ini les juga, tapi agak sore selesainya. Jadi gue nungguin dia dulu. Temenin dong," ajak Jovanca.
"Lo sejak kapan punya kakak?" Tanya Anna bingung.
"Sejak lahir? Elah gak penting, udah nanti temenin ya," paksa Jovanca yang hanya dijawab dengan gumaman oleh Anna. Percuma menolak, Jovanca akan terus memaksa.
Tempat les Anna adalah tipe semi-privat, jadi satu guru bisa mengajar dari SD sampai SMA. Gurunya pintar bukan main, Anna sempat berpikir ia menggunakan pelet. Tempat les itu juga cukup fleksibel, muridnya bisa datang kapan saja.
Anna mulai sibuk mengerjakan tugasnya, melingkari beberapa soal yang sulit untuk ditanyakan ke gurunya nanti.
Tidak lama kemudian, Anna mendengar pintu kelasnya dibuka, dan tanpa mengangkat kepalanya, ia langsung bertanya, "Kak, ini gue gak ngerti yang nom--"
"Ca, pinjem penghapus dong," ucap seseorang yang berdiri di pintu. Entah siapa Anna tidak tahu, yang jelas bukan gurunya. Ia langsung menutup mulutnya dan kembali menekuni tugasnya, merasa malu.
Jovanca berdiri, lalu berjalan ke arah pintu sambil membawa penghapusnya yang berwarna pink. "Mas, nanti jangan sore-sore baliknya."
Anna memutuskan untuk mengangkat kepalanya, penasaran Jovanca sedang bicara kepada siapa.
Ia menyesali keputusannya.
Tepat saat Anna menoleh, laki-laki yang sedang bicara dengan Jovanca juga sedang melihat ke arahnya dan Anna dengan bodohnya tidak langsung mengalihkan pandangannya, melainkan tetap melihat ke mata laki-laki itu untuk beberapa detik.
Laki-laki itu berdehem, kemudian Anna bisa melihat dari ekor matanya ia berbalik pergi entah ke mana.
Saat Jovanca kembali duduk di sampingnya, Anna mengurungkan niatnya untuk bertanya itu siapa. Ia tetap menekuni tugasnya, walaupun sesungguhnya ia sudah tidak bisa fokus karena masih merasa bodoh kenapa tadi ia tidak langsung mengalihkan pandangan.
Setelah empat jam mengerjakan tugas, ngobrol, main HP, lalu mengerjakan tugas lagi, Anna memutuskan untuk pulang. Ya, sesungguhnya tidak pulang. Ia menemani Jovanca dulu.
"Mau ke mana nih?" Tanya Anna sambil menunggu Jovanca merapihkan barang-barangnya.
"Di Sevel sebelah aja ya? Tapi gue mau bilang dulu ke Asa, jadi ke kelas sebelah dulu," ucap Jovanca, lalu berdiri dan berjalan keluar kelas, Anna mengikuti di belakangnya.
"Asa siapa?"
"Kakak gue, yang tadi minjem penghapus."
"Oh."
Anna memutuskan untuk berdiri di samping pintu, agar ia tidak bisa melihat ke kelas itu saat Jovanca membuka pintu. Antisipasi, kalau-kalau ia kontak mata lagi dengan kakak Jovanca.
"Ra, yuk." Jovanca mengangguk mengajak Anna jalan.
"Ih cimitku baik banget beneran mau nemenin. Gue traktir deh." Jovanca memeluk Anna, lalu menggosok mukanya ke pipi Anna.
"Geli! Beneran?" Anna mendorong wajah Jovanca menjauh sambil tertawa kecil.
"Iya beneran traktir. Tapi jangan gadir."
"Emang lo." Anna mendorong Jovanca yang masih memeluknya, lalu mengambil sekotak biskuit, permen karet, dan air mineral.
"Ih? Udah gini doang?" Tanya Jovanca saat Anna datang dengan belanjaannya.
"Gue udah makan tadi," jawab Anna singkat. Jovanca hanya manggut-manggut, lalu membayar makanannya dan makanan Anna.
"Asa sekolah di mana?" Tanya Anna, tidak bisa membendung rasa penasarannya. Ia tadinya tidak ingin bertanya karena tipikal orang seperti Jovanca pasti akan langsung heboh, namun pertanyaan itu sudah berputar-putar di otaknya sejak mereka meninggalkan tempat les.
"Ih, satu sekolah sama lo!" Jovanca menatap Anna dengan tatapan 'cuy-serius-lo-?!'
"Oh?" Anna mengangkat sebelah alisnya, terkejut.
Pantesan familiar.
"Yawli cakep-cakep ansos." Jovanca mengelus pundak Anna dengan tatapan sok prihatin.
"Dia IPA apa IPS?" Tanya Anna penasaran.
"IPA," jawab Jovanca. Anna hanya menggumam sambil memasukkan sepotong biskuit ke mulutnya.
"Lo kenapa gak sekolah bareng dia? Kan biar bisa satu sekolah juga sama gue," tanya Anna santai.
"Dia gak mau satu sekolah sama gue. Katanya nanti temennya sama semua," jawab Jovanca sambil mengangkat kedua bahunya cuek.
"Mau UN dong ya, dia?" Tanya Anna lagi. Entah kenapa ia jadi banyak tanya.
"Nggak. Dia kelas sebelas juga. Gue kan aksel."
"Oiya."
"Na, lo kok bisa gak kenal Asa? Bukannya gimana-gimana, tapi dia lumayan eksis," tanya Jovanca setelah beberapa saat diam.
"Gue kan pindahan, semester dua kelas sepuluh baru masuk, terus ya gitu gue gak terlalu perduli, keluar kelas aja jarang," jawab Anna santai.
"Bergaul, Na. Temen lo pasti banyak kalo lo mau bergaul," saran Jovanca.
"Percuma temen banyak kalo gak ada yang real. Ya kan?"
"Ya ta-" ucapan Jovanca terpotong ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Ca, ayo pulang. LINE gue kok gak di read?" Tanya seseorang itu yang ternyata Asa.
"Oh, lo nge-LINE? Gue lagi ngobrol. Hehe. Ya udah, gue duluan ya, Na. Lo pulang jam berapa?" Tanya Jovanca sembari berdiri.
"Tuh, supir gue udah di depan dari tadi."
"Ih cimitku beneran deh aku sayang kamu. Gih, pulang. Hati-hati."
"Bawel."
-----
Kalian gak tau udah berapa lama gue mau ngepost ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
Teen FictionEnigma [ɪˈnɪɡmə]: Noun 1: A person or thing that is mysterious or difficult to understand. Asa tidak pernah berusaha untuk memahami kepribadian orang. Untuk apa? Bikin pusing. Lagi pula dia bukan cenayang. Setelah bertemu Anna, Asa mulai menyesali k...