5

320 22 2
                                    

"Annara?" Suara anggun namun mengintimidasi itu memanggil Anna.

"Ya?"

"Gimana sekolahmu?"

"Baik."

"Annara."

"Baik, Mama." Yang dipanggil Mama itu tersenyum puas mendengar jawaban anaknya.

"Mama daftarkan kamu di kompetisi memanah. Dimulai dua minggu lagi. Kalau kamu selalu berhasil, kamu bisa masuk nasional dan sertifikatnya bisa menjadi rekomendasi untuk sampai internasional. Dan itu yang Mama mau."

"Ya."

"Habiskan makanmu."

Meja makan panjang yang bisa ditempati sepuluh orang itu terasa begitu sepi karena hanya ditempati oleh dua orang yang tidak berkomunikasi. Yang satu membayangkan hidup seperti remaja SMA pada dasarnya, yang satu membayangkan putrinya menjadi pemanah internasional.

"Aku sudah selesai."

"Pergi ke kamarmu. Kerjakan apa yang bisa kamu kerjakan." Anna mengangguk kaku, lalu pergi ke kamarnya tanpa sepatah kata lagi.

Ia mengunci pintu kamarnya, lalu membanting badannya di kasur. Ia mengubur wajahnya di bantalnya lalu berteriak sampai tenggorokannya perih, sampai air mata tanpa disadari mengalir dari matanya, sampai rahangnya terasa semutan.

Ia berpindah ke posisi terlentang, matanya menatap piala-piala yang berjejer di atas lemari. Semuanya terasa sia-sia.

Tanpa memikirkan tugasnya yang belum dikerjakan, Anna terlelap.

*

"Sa, ini nilaimu kenapa anjlok semua?" Gumam Jennet sambil melihat hasil laporan belajar Asa.

"Ya gitu deh, Bun."

"Apanya gitu deh? Kamu tuh, udah Bunda bayarin les kenapa nilainya masih anjlok?"

"Bingung Asa juga, Bun."

"Jawab terus kalo dikasih tau orang tua!"

"Ya Bunda kan nanya, masa gak dijawab."

"Asadel Purnama!"

"Iya iya ampun."

"Bunda gak mau tau, nilaimu harus lebih bagus lagi." Jennet meletakkan rapot putra sulungnya di meja, merasa lelah.

"Gak janji ya, Bun."

"ASADEL!"

"Iya Bundaku sayang." Asa berdiri, lalu mencium kening ibunya. "Asa usahain, ya. Udah Bunda jangan stres nanti cantiknya ilang."

Dengan itu, Asa melenggang pergi ke kamarnya, membiarkan bundanya dengan pikirannya.

"Mas? Sekolah lo ikut Turnamen Pelajar?" Tanya Jovanca saat Asa melewati kamar adiknya.

"Ikut kayaknya. Sekolah lo ikut?"

"Ikut, putra-putri. Yay kita ketemu!" Jovanca bersorak senang. Asa hanya tersenyum, lalu pergi ke kamarnya setelah mengusap kepala Jovanca.

Ia mengambil bola hijau dengan jahitan merah yang tergeletak di lantai kamarnya. Olahraga dengan bola keras itu sudah ia tekuni sejak SMP, dan berkatnya sekarang ia salah satu pemain untuk tim provinsi.

Ia mengambil sebuah piala di kotak biru yang berbentuk seseorang sedang memegang tongkat softball dengan posisi ingin memukul bola.

Best Pitcher.

Asa tersenyum melihat piala individunya yang pertama. Piala yang didapatnya saat kelas dua SMP.

Semua luka, memar, rasa lelah dan segala macam di tubuhnya tidak ada yang terasa sia-sia saat ia menatap medali-medali yang berjejer di dinding kamarnya.

"Mas?" Panggil Maya, kepalanya melongok ke kamar Asa.

"Yaa?"

"Dipanggil Bunda."

"Bohong."

"Sumpah!" Ucap Maya nyolot, matanya melebar dan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya terangkat.

"Tapi Mas baru ngomong sama Bunda."

"Tapi tadi Bunda nyuruh Maya manggil Mas!" Maya menghentakkan kakinya di lantai.

Asa tersenyum, lalu bediri dari kasurnya. "Kalo Maya bohong?"

"Maya beliin ciki!"

"Bener?" Asa mengangkat adik terkecilnya itu, mendudukkannya di pundaknya.

"Bener!"

"Iya biasa aja dong jangan nyolot," gumam Asa sambil terkekeh.

"Apa?" Tanya Maya yang rupanya mendengar gumaman Asa.

"Nggak."

"IH Maya mau dibuang sama Mas!" Teriak Jovanca ketika melihat Asa dan Maya melewati kamarnya.

"MAS!" Maya menjambak rambut Asa yang menjadi pegangannya, takut dibuang sungguhan.

"AAAAA ADUH TUHAN! Nggak, Maya!"

"MAYA MAU DIBUANG! DI LAUT! NANTI MAYA DIMAKAN HIU!" Teriak Jovanca lagi, membuat Maya semakin menjambak rambut Asa dan sekarang sudah pakai nyaris menangis.

"CA ELAH SAKIT! Maya sumpah nggak, itu becanda doang!" Asa mencoba melepas genggaman erat Maya dari rambutnya, sementara Jovanca sudah nyaris di lantai karena tertawa.

"Apa sih, beri-- ASA BENER BENER YA KAMU! TURUNIN GAK ITU NANTI MAYA JATOH!" Teriak Jennet histeris.

Mendengar namanya dan kata 'jatoh' di satu kalimat, Maya semakin histeris. Asa merasa seperti rambutnya akan copot dari kepalanya.

"BUNDA AH!" Teriak Asa.

Jennet berdiri di belakang Asa, kemudian menurunkan Maya dari pundak Asa. Gadis kecil itu langsung memeluk ibunya seakan-akan mereka tidak akan bertemu lagi.

"Kamu sih!" Gumam Jennet sambil mengusap-usap punggung Maya.

"Jovan yang mulai, bukan Asa!"

"Jawab terus!"

"YA TUHANKU."

"Asa mau kemana! Sini Bunda mau ngomong!"

Asa menarik napas panjang, lalu memasang senyum yang paling manis, baru berbalik badan. "Ada apa, Ibunda Jennet Arhadi Purnama?"

"Biasa aja mukanya, jelek."

"Banyak yang bilang aku Bunda versi cowok."

"Iya tapi Bunda cakep, kamu nggak."

Baru Asa ingin membalas, Jennet sudah memotong pembicaraannya. "Kamu kapan tanding softball?"

"Asa belum tau sekolah ikut apa nggak, tapi kalo ikut paling bulan depan."

"Sa, kalo nilai kamu masih jelek, Bunda mau kamu berhenti softball sampai nilai kamu bagus lagi ya."

"BUN! Masa gitu?" Asa memasang mukanya yang paling melas, dan ia sungguh nyaris menangis karena olahraga itu sudah memiliki spot khusus di hatinya.

"Iya gitu. Rapot ulangan awal kamu jelek banget, Asa. Bentar lagi UTS, kan? Nilai kamu harus bagus, kalau gak kamu gak boleh ikut tanding."

"BUNDA PARAH BANGET AH!" Asa berlutut sambil mengusap wajahnya.

"Makanya belajar jangan main mulu. Bunda serius ya," ucap Jennet, lalu pergi meninggalkan Asa yang masih di lantai.

"Mas?" Panggil Jovanca tidak lama kemudian.

"Apa?" Sahut Asa jutek.

"Anjrit galak. Mau ngasih tau doang, Anna pinter banget."

"Ya udah yang pinter kan dia bukan gue, yang penting sekarang gue yang pinter."

"Ih dasar ya pantesan nilai rapotnya jelek." Setelah berucap begitu, Jovanca kembali ke kamarnya, tidak ingin bertengkar dengan kakaknya yang sedang bad mood.

-----

Just another filler chapter. Enjoy! Jangan lupa vote dan comment hehehe.

Btw gais mulai besok gue UKK, jadi gak akan update seminggu. Woh. Jadi ini chapter terakhir sebelum gue UKK. Doain ya semoga nilainya bagus. Good luck juga untuk kalian yang besok UKK!

xx -A

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang