"Mas?" Jovanca mengulurkan kepalanya ke dalam kamar Asa. Yang dipanggil hanya menggumam tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Diajak makan sama Bunda."
"Duluan aja, nanti gue nyusul."
"Ih, disuruh sekarang!"
"Nanti, Jov-"
"JOVAN! ASA!" Teriak sang ibunda dari ruang makan.
"Tuh mak lu udah teriak-teriak ayo ih jadi anak durhaka mau?" Ucap Jovanca cepat. Asa menghela napas kasar, lalu bediri dari kasurnya.
Jovanca mengangkat sebelah alisnya melihat perilaku kakaknya yang tidak biasa. Kenapa ia sangat jengkel hanya karena diajak makan bersama?
"Sa, kamu kenapa?" Tanya Jennet, ibu dari tiga bersaudara itu.
"Tau tuh, Mas dari tadi loh, Bun."
"Iya! Tadi aku main ke kamar Mas, terus aku dimarahin," timpal Maya, gadis kecil berusia tujuh tahun yang merupakan adik terkecil Asa.
"Emang Asa kenapa?" Tanya Asa datar.
"Diem aja dari tadi, terus mukanya gondok. Lagi ada masalah?" Tanya Jennet sambil menatap putra sulungnya lembut.
"Oh, gak kok. Lagi capek aja, bentar lagi Asa UTS. Belum siap," jawab Asa singkat, padat. Mendengar jawaban Asa, Jennet hanya menghela napas sambil mengangguk. Ia tahu bahwa bukan itu yang ada di pikiran Asa, namun ia tidak ingin mengganggu privasi Asa. Anak itu juga sudah besar, bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, pikir Jennet.
Sementara Jovanca, menjadi adik yang selalu ingin tahu, berniat akan mengajak kakaknya ngobrol setelah makan malam. Menjadi satu-satunya lelaki di keluarga, Jovanca tidak ingin kakaknya terlalu banyak pikiran untuk menambah pikirannya yang menumpuk di belakang otaknya.
"Asa duluan ya, udah selesai," ucap Asa setelah menghabiskan makan malamnya. Ia meletakkan piring kotornya di bak cuci, lalu tanpa sepatah kata ia kembali ke kamarnya.
Jovanca buru-buru menghabiskan makan malamnya, lalu berlari menyusul kakaknya setelah menaruh piring kotornya di atas piring kotor Asa.
"Mas?" Panggil Jovanca sambil mengetuk pintu kamar Asa.
"Ya?" Sahut Asa dari dalam kamarnya, menandakan bahwa Jovanca dibolehkan masuk.
Jovanca tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Ia hanya duduk di kasur Asa, memerhatikan kakaknya yang duduk manis di kursi meja belajarnya, entah menulis apa.
"Apa sih ngeliatin? Risih," gumam Asa setelah beberapa saat Jovanca masih menatapnya.
"Lo kenapa sih?" Tanya Jovanca.
"Kenapa apanya?"
"Ih beda deh pokoknya. Gue udah lima belas tahun jadi adik lo, gue tau kalo lo berubah, Mas," ucap Jovanca.
"Apaan si lo, gaje," gumam Asa lagi.
"Yawis, kalau ndak mau bicara," ucap Jovanca, lalu beranjak keluar dari kamar kakaknya perlahan.
Saat Jovanca memegang knop pintu kamar Asa, suara Asa yang memanggil namanya membuat sebuah senyuman puas terukir di bibirnya, yang langsung ia sembunyikan ketika ia berbalik menghadap Asa.
"Tadi tuh, yang di Sevel bareng lo, Anna kan?" Tanya Asa pelan.
"Iya, kenapa?" Tanya Jovanca, kembali duduk di kasur Asa.
"Dia satu sekolah sama gue kan?"
"Betul."
"Oh, oke. Ya udah, tadi mau keluar kan? Gih," usir Asa.
"Rese!" Jovanca menghentakkan kakinya, namun tetap keluar, memutuskan untuk meninggalkan kakaknya sendiri dengan pikirannya.
Begitu Jovanca menutup pintu kamarnya, Asa menghela napas berat. Kenapa pula Anna tiba-tiba les di tempat yang sama?
Kenapa harus Anna?
-----
Super pendek but stick with me it's gunna be good!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
Teen FictionEnigma [ɪˈnɪɡmə]: Noun 1: A person or thing that is mysterious or difficult to understand. Asa tidak pernah berusaha untuk memahami kepribadian orang. Untuk apa? Bikin pusing. Lagi pula dia bukan cenayang. Setelah bertemu Anna, Asa mulai menyesali k...