Seharian itu dihabiskan dengan Kiki yang terus-terusan bertanya apakah Anna baik-baik saja. Bahkan ada di satu titik saat Kiki dengan iseng memencet pipi Anna di bagian yang memar.
Anna nyaris menyiram Kiki dengan kopi panas.
"Kirana, sakit," desis Anna saat jari Kiki nyaris menyentuh pipinya lagi. Untung saat itu bel pulang baru berbunyi, jadi Anna bisa kabur dari Kiki dan jarinya.
"Ya makanya lo kasih tau gue itu kenapa!" Rengek Kiki sambil menggebrak meja.
"Gue kan udah bilang, gue jatuh dari kasur terus kena meja," ucap Anna sambil menghela napas. Ia kemudian berdiri, lalu menepuk bahu Kiki sambil tersenyum. "Udah ah, gue duluan ya."
"Anna!"
*
"Cimit!" Jerit Jovanca ketika Anna masuk ke ruangan les, membuat beberapa orang terlonjak kaget dan beberapa menatap Jovanca tidak suka.
"Sst, berisik, ada yang lagi belajar," ucap Anna pelan. Ia berjalan ke kursi di samping Jovanca.
"Ini siapa?" Tanya Anna ketika melihat kursi di sebelah kirinya ada tas.
"Hm? Oh, Asa," jawab Jovanca santai.
Tepat setelah Jovanca menjawab pertanyaan Anna, si empunya tas masuk ke ruangan les dengan sekaleng kopi di tangannya.
"Eh, Anna," sapanya sambil duduk di samping Anna.
"Hai," gumam Anna, berusaha fokus ke soal latihan di bindernya.
"Na?" Panggil Asa, yang hanya dijawab oleh gumaman oleh Anna. Anna tidak berani menatap Asa, takut Asa akan menyadari wajahnya, seperti Kiki.
"Anna coba liat gue bentar," ucap Asa lagi. Anna bisa merasakan Asa menatapnya dengan tajam.
"Bentar," gumam Anna, berharap Asa akan lupa.
"Anna."
"Kenapa, Asa?" Anna akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Asa tepat di mata. Anna mulai jengkel karena suara Asa terus menerus memanggil namanya.
Anna agak menyesal ia menoleh, karena ia bisa melihat dengan jelas ketika rahang Asa mengeras.
"Pipi lo kenapa?" Tanya Asa, kali ini sudah menarik perhatian Jovanca juga.
"Emang pipinya Anna kenapa?" Jovanca menarik bahu Anna agar menghadap kearahnya.
"Whoa, kok gue gak sadar?" Tanya Jovanca ke dirinya sendiri.
Perlahan, Jovanca menyentuh pipi Anna, lalu menekan jarinya perlahan. Anna mendesis kaget, tangan kanannya reflek menahan pergelangan tangan Jovanca.
"Aw!" Teriak Jovanca, karena Anna tidak sengaja mencengkram pergelangan tangan Jovanca, bukan hanya memegang.
"Na, itu kenapa?" Tanya Jovanca, kekhawatiran terdengar jelas di kata-katanya.
"Gue jatuh dari kasur, terus kena meja di samping kasur," jawab Anna. Ia kembali menunduk menatap soal di bindernya, menandakan ia tidak mau menjawab pertanyaan lagi.
Asa dan Jovanca saling menatap. Jovanca hanya mengangkat bahunya, tidak tahu harus apa, karena jika Anna tidak mau menjawab, itu artinya ia tidak mau menjawab, mau didesak seperti apapun juga.
"Na, FYI, foundation lo mulai luntur," gumam Jovanca sebelum kembali menekuni soalnya. Kedua kakak beradik itu menyadari ketika Anna menarik napas panjang.
Untuk pertama kalinya, les di hari Kamis itu sunyi senyap di antara tiga remaja itu. Yang paling kanan bahkan tidak fokus, malah menggambar di meja ketika yang di tengah berusaha fokus sambil berusaha mengabaikan rasa sakit di pipinya dan sepasang mata yang menatapnya dari kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
Teen FictionEnigma [ɪˈnɪɡmə]: Noun 1: A person or thing that is mysterious or difficult to understand. Asa tidak pernah berusaha untuk memahami kepribadian orang. Untuk apa? Bikin pusing. Lagi pula dia bukan cenayang. Setelah bertemu Anna, Asa mulai menyesali k...