"Lo gila apa ya?!" Semprot Anna ketika Asa duduk di atas motornya. Standarnya masih turun dan mereka masih berada di parkiran Senayan. "Lo ngapain tadi maju ke depan gue?! Jadi lo yang kena pu--"
"Lo gak liat dia?! Gue laki-laki, and I'm an athlete, I can say I'm in a damn good shape, dan bahkan gue masih mental pas tadi dia mukul gue. Lo bisa mati kalo gue gak maju dan lo yang kepukul! Dia lima kali lipat lebih gede dari lo, Anna! Lo bisa mental sampe ke Arab!" Semprot Asa balik. Kepalanya berdenyut sakit dan pandangannya sedikit kabur.
Anna menghela napas frustasi, melarikan jari-jarinya ke rambutnya yang sekarang sudah terurai. Matanya berkaca-kaca, dan ia yakin akan menangis kalau ia berkedip.
"Lo masih pake itu di jari lo," gumam Asa pelan. Anna menatap tangan kanannya, menyadari bahwa ia masih menggunakan finger tab-nya. Ia melepasnya dengan kasar, lalu memasukan finger tab itu ke backpack-nya.
Kemudian ia berjongkok, berpura-pura mengikat tali sepatunya yang bahkan masih terikat dengan kencang. Ia hanya ingin menyembunyikan wajahnya karena ia tidak mau Asa melihatnya menangis. Dan untung saja parkiran itu sepi.
"Hey, hey," gumam Asa pelan sambil memegang kedua bahu Anna, membantunya berdiri. "Jangan nangis dong, nanti dikira gue ngapa-ngapain lo."
"Sakit jiwa lo," bisik Anna di sela-sela tangisnya yang masih sesunggukan.
Entah apa yang terlintas di otak Asa, tapi ia sungguh tidak kuat melihat Anna menangis, jadi ia melakukan apa yang ada di otaknya; menarik Anna ke dalam pelukannya.
Asa sempat terkejut ketika Anna tidak berontak. Ia hanya membiarkan Asa memeluknya, tidak protes karena sesungguhnya ia membutuhkan pelukan itu.
"Udah dong jangan nangis nanti dikira gue ngehamilin lo," bisik Asa sambil mengusap kepala Anna.
Anna terkekeh di sela tangisnya dan memukul pinggang Asa. "Fix lo sakit jiwa."
"Makanya dengerin kalo cewek ngomong." Anna menghela napasnya. Mereka sedang berada di salah satu coffee shop di FX, setelah Anna mampir ke Guardian untuk membeli anti septik dan semacamnya.
"Pelan-pelan ish!" Sentak Asa ketika Anna membabat tangan kanan Asa dengan perban. Tangan kanan Asa yang habis menonjok Pak Yanto tidak terlihat baik, buku-buku jarinya berwarna merah marun bercampur biru seperti memar.
"Lo diem makanya jangan gerak terus!" Anna menarik tangan kanan Asa, mengabaikan rintihan anak laki-laki itu. "Nonjok bisa lo, dibebat nangis-nangis."
"Ngomong apa lo barusan?"
"Asa ganteng," jawab Anna polos dengan senyuman lebar.
"Ngapain sih senyum lebar banget, muka lo kayak orang ayan lagi kesurupan." Asa menatap Anna dengan tatapan aneh.
"Ya Tuhan, maafin Asa ya, dia emang suka gak tau diri," gumam Anna sambil terus membebat tangan Asa, bahkan lebih keras.
"Sakit!" Jerit Asa dengan suara melengking, membuat Anna tertawa terbahak-bahak karena suaranya seperti anjing chihuahua.
"Geli banget!" Anna berusaha berucap di tengah-tengah tawanya, sementara Asa hanya menatapnya dengan wajah datar.
"Udah, udah," ucap Anna setelah tawanya mereda. "BTW, kok lo bisa nonjok Pak Yanto sampe berdarah gitu? Gue agak ngeri idungnya dia patah."
"Gue softball dari SMP, tangan gue kuat, apa lagi tangan kanan karena dipake buat ngelempar," jelas Asa seperti itu bukan hal yang besar. Ia mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban, lalu berucap, "Dan gue mukul dia pake tangan kanan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
Teen FictionEnigma [ɪˈnɪɡmə]: Noun 1: A person or thing that is mysterious or difficult to understand. Asa tidak pernah berusaha untuk memahami kepribadian orang. Untuk apa? Bikin pusing. Lagi pula dia bukan cenayang. Setelah bertemu Anna, Asa mulai menyesali k...