21

199 12 2
                                    

"Are you sure?" Bisik Anna ragu ketika Asa masuk ke gedung itu lewat pintu basement.

"Gue sama Jovan sering, Na. Serius." Asa terkekeh. Ia berusaha meyakinkan Anna sejak keduanya pergi dari kediaman David.

"Emang lift masih nyala?" Tanya Anna. Mereka sudah berada di lobby kantor, dan saat itu gelap gulita. Mereka mengeluarkan ponsel masing-masing, menyalakan flash untuk menyinari lobby.

"Gak. Kita naik tangga. Gedung ini sampe lantai 22. Sanggup gak?" Tanya Asa, yang dijawab dengan anggukan pasrah dari Anna.

Optimisme Anna mulai hilang ketika mereka sampai di lantai sembilan. Ia bertumpu di kedua dengkulnya, napasnya tersenggal.

"Kita udah berkali-kali berhenti, Na. Kok lo masih ngos-ngosan?" Asa terkekeh.

"Iya," jawab Anna asal. Ia menghela napas, lalu duduk. "Gue capek."

"Take your time. Gue gak buru-buru. Alvin buru-buru gak?" Anna langsung mengeluarkan ponselnya mendengar pertanyaan Asa. Ia membuka tab chat Alvin, mengirimkan laki-laki itu sebuah pesan.

Annara Harris: lo selesai jam berapa?

Pesannya tidak langsung dibaca, jadi Anna memasukkan kembali ponselnya ke kantung sweater-nya. Ia berdiri, lalu dengan optimisme yang tiba-tiba kembali entah dari mana, ia mengajak Asa melanjutkan perjalanan mereka.

Kurang lebih setengah jam kemudian, mereka sampai di lantai dua puluh dan Anna sungguh ingin menyerah. Kakinya berdenyut perih dan napasnya tidak beraturan.

"Ayo ih dua lantai lagi malah berhenti," ucap Asa, namun ia sendiri bersandar di tembok, hoodie-nya sudah lama terlepas, meninggalkan Asa dengan kaus hitam yang sudah buluk.

"Kok kita gak bawa minum sih?" Gumam Ana lebih kepada dirinya sendiri. Asa terkekeh, menarik lengan Anna. Gadis itu mengerang malas.

"Di atas ada dispenser," ucap Asa, membuat Anna langsung berdiri dan berjalan mendahului Asa.

Dengan pikiran ada air minum di atas, kedua remaja itu sampai di lantai 22 dalam waktu yang cukup singkat.

"Kita ke pantry dulu." Asa berjalan ke arah pintu masuk ruangan kerja.

"Emang dibuka?"

"Ini kuncinya pake sidik jari, mesinnya gak pernah mati. Gue kan sering bantuin jadi sidik jari gue ada juga," jelas Asa. Ia menempelkan ibu jarinya di mesin absensi. Layar di bawah ibu jarinya berubah hijau, lalu ada bunyi 'cklek' dari pintu di samping mereka.

"Jangan jauh-jauh dari gue. Di sini suka ada yang iseng," bisik Asa.

Anna menyikut pinggang Asa. "Apaan si ih kalo ngomong!"

Asa hanya terkekeh. Kedua remaja itu masuk ke pantry. Asa mengambil sebotol besar air mineral dari kulkas dan dua bungkus biskuit dari lemari di atasnya. "Nih, pegang biskuitnya."

"Gue mau ke toilet," gumam Anna pelan. Asa mengangguk, lalu mereka keluar dari pantry, melewati ruang kerja, lalu berjalan ke arah toilet yang berada tepat di samping pintu darurat tempat mereka masuk tadi.

"Lo tungguin depan pintu," ucap Anna. "Bener-bener depan pintu, gak boleh ke mana-mana. Pokoknya depan pintu."

"Buset," Asa terkekeh. "Iya gue tungguin depan pintu."

Anna masuk ke dalam toilet, jantungnya berdebar keras walaupun ia tahu Asa tepat di depan pintu.

Ia menyelesaikan kebutuhannya, lalu mencuci tangannya. Ia merapikan rambutnya yang masih tergulung asal, merubahnya jadi kucir kuda. Anna kemudian mencuci mukanya, dan saat ia mengusap wajahnya ia bersumpah ia melihat seseorang berjalan di belakangnya. Bertepatan dengan ia menoleh, suara tutup WC dibanting dengan kencang terdengar. Ia tidak bisa bergerak dari tempatnya, jadi ia melakukan satu-satunya hal yang ia bisa; berteriak.

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang