Anna tidak mendengarkan ancaman Jovanca.
Ia tetap datang ke pertandingan Asa keesokan harinya. Ia izin akan pergi dengan Alvin, dan ibunya langsung mengizinkan begitu saja.
Melihat kondisi Asa kemarin, Anna memutuskan untuk menonton agak jauh, bukan di tempat duduk yang berada tepat di samping lapangan tempat Asa bertanding. Setidaknya ia masih bisa melihat Asa bertanding.
Seperti kemarin, Asa bermain dengan bagus. Lawan mereka hari ini tidak terlalu sulit jadi mereka menang dengan poin lumayan jauh. Anna langsung buru-buru turun, karena ia tahu tim Asa akan naik ke tempatnya menonton setelah bertanding.
Bagaimanapun, Anna telah membulatkan tekadnya. Ia harus bicara kepada Asa. Ia menunggu di tempat penonton, namun jauh dari tempat Jovanca bertanding. Anna bersyukur Jovanca dan Asa memiliki jadwal tanding yang berbeda karena jika jadwal tanding mereka sama, Anna tidak akan memiliki kesempatan untuk bicara kepada Asa.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Anna melihat Asa turun sendirian. Tasnya tersampir di bahu kanannya.
Anna langsung berlari menyusul Asa, berjalan pelan di belakangnya sampai Asa sampai di daerah parkiran. Anna menepuk punggung Asa pelan, tidak ingin mengageti laki-laki itu.
Asa berbalik badan dan jantung Anna nyaris berhenti. Baru kemarin ia melihat Asa dengan jarak sedekat itu namun rasanya sudah sangat lama.
"Apa?" Tanya Asa pelan, wajahnya tidak dingin, tidak baik. Wajahnya hanya datar dan terlihat sangat lelah.
"Apa kabar?"
"Baik," jawab Asa, lalu menghela napas dalam. "Lo ngapain di sini?"
"Mau nonton lo."
"Ngapain? Jovan udah bilang gak usah ke sini."
"Gue gak peduli."
"Of course you don't," gumam Asa pelan sambil menghela napas, namun Anna mendengarnya dan itu seperti menohok hatinya.
"Maaf."
"I know. Can you, please, just stay away from me?" Pinta Asa pelan, tatapannya memohon.
"Gue gak mau," gumam Anna sambil melihat ke arah lain.
"Anna, please. Do you have any idea how selfish you are right now? You just want your own happiness and I'm here trying to keep myself together. Please." Asa melepas topinya, lalu mengusap wajahnya kasar.
"What do you want me to do? I'll do anything, please." Sekarang Anna menangis. Untung parkiran itu sepi, kebanyakan orang masih berada di daerah lapangan.
"Why?" Tanya Asa. "Kenapa lo tiba-tiba tunangan sama Alvin? Gue tau gue bukan pacar lo sebelumnya, but after everything we've been through I think deserve an explanation."
"Please." Anna menangis, berusaha meraih tangan Asa, namun Asa tepis pelan.
"Tell me why or please stay away from me." Asa menatap mata gadis itu. Anna hanya menangis, tidak menjawab pertanyaan Asa. Asa mengangguk. "I thought so."
Asa membuka pintu mobilnya, lalu sebelum masuk, ia menatap Anna untuk terakhir kali sebelum ia pergi. "Pulang sana. Sebelum Jovanca liat lo. Salam buat Alvin."
*
Anna pergi ke rumah ayahnya naik taksi setelah Asa meninggalkannya di parkiran selagi ia menangis. Ia tidak mau mengajak Alvin ke rumah ayahnya, karena ia ingin hanya Asa yang tahu tentang keluarganya yang sesungguhnya.
Anna memencet bel rumah itu, dan seperti dugaannya, Liam yang membuka pintu.
"Masuk, Kak," ucap Liam tanpa bertanya Anna ingin mencari siapa. Anna mengangguk, lalu duduk di ruang tamu. David muncul tidak lama kemudian, masih mengenakan baju tidur.
"Sorry ya, kamu dateng tiba-tiba, Papa belum mandi," David terkekeh canggung sambil mengusap tengkuknya. Menyadari wajah putrinya yang sangat terlihat habis menangis, ekspresi David langsung penuh kekhawatiran. "Kamu kenapa?"
Dengan satu pertanyaan itu, Anna menangis tersedu-sedu sambil memeluk ayahnya. David mengajak Anna duduk. Sambil menangis, Anna menceritakan semuanya. Mulai dari apa yang terjadi saat ia di Korea sampai kejadian tadi, tepat sebelum Anna ke rumah David.
Brigitta muncul tidak lama kemudian dengan dua gelas es teh. Ia menatap Anna dengan tatapan prihatin, ikut mendengar cerita Anna. Ia mengusap kepala Anna lembut, lalu kembali ke dapur.
"I-I don't know what to do," ucap Anna tersenggal. "Everyone hates me now."
"Not everyone." David menghela napas sambil Mengusap kepala putrinya.
"Aku harus apa?" Tanya Anna lagi setelah tangisnya mereda. Matanya merah dan sembab.
David menghela napas lagi, hatinya berdenyut perih melihat anaknya menangis tersedu-sedu karena masalah yang seharusnya tidak dialami oleh seorang remaja.
"Untuk sekali aja, mungkin kamu harus mikirin diri kamu sendiri," ucap David. "Papa tau, Papa ada di hidup kamu belum lama. Tapi, dari semua cerita kamu, Papa aja udah sadar kalo kamu selalu mikirin orang di sekitar kamu tapi kamu gak pernah mikirin diri kamu sendiri. Bagus, tapi kalau terlalu berlebihan juga gak baik. Mulai sekarang, coba pikirin diri kamu dulu. Gimana hal yang kamu lakukan bakal berdampak ke kamu. Dan, kamu harus lebih berani bilang gak. Jangan semua hal kamu iya-in. Kamu gak akan seneng kalo gitu caranya."
Anna menggenggam gelas es teh di tangannya. Ia menyadari apa yang dikatakan ayahnya memang benar dan itu semua telah terlintas di otaknya lebih dari sekali, ia hanya tidak memiliki keberanian untuk melakukannya.
Hari itu Anna habiskan di rumah ayahnya. Ia membicarakan semua hal yang terjadi di hidupnya kepada David sampai Alvin bertanya ia di mana, menandakan Anna harus segera kembali ke FX agar Alvin menjemputnya di sana.
*
"Gue tau kok, tadi Anna dateng."
Asa langsung mem-pause game-nya. Asa sudah jarang bermain game dan sekarang Jovanca merusak mood-nya.
"Terus?" Tanya Asa, kembali memulai game-nya, berusaha terlihat cuek.
"Gue juga liat dia ngomong sama lo di parkiran terus lo ninggalin dia lagi nangis-nangis. Gue bangga." Jovanca menepuk pundak Asa dua kali.
Asa memberikan reaksi yang Jovanca sama sekali tidak kira. Ia mem-pause lagi game-nya, lalu menghela napas kasar. "Lo tau gak sih gue mati-matian ngomong sedingin itu ke Anna? Lo tau gak gue susah banget buat ninggalin dia di parkiran sambil nangis-nangis kayak gitu? Lo tau gak berapa kali gue nengok ke belakang, berantem sama diri gue sendiri untuk gak muter balik dan nyamperin Anna yang masih nangis sendirian? Lo jangan bilang lo bangga sama gue atau hal kayak gitu karena gue gak bangga. Kalo lo pikir gue mulai bisa ngelepasin Anna pelan-pelan, lo salah. Lo.. ugh, lo liat gak sih gue jahat banget? Ninggalin anak orang nangis sendirian di parkiran? Itu parkiran sepi, kalo dia kenapa-kenapa gimana? Yang gue lakuin itu salah dan gak seharusnya lo bangga sama apa yang gue lakuin."
Asa mematikan Xbox-nya, lalu beranjak pergi. Ia menatap Jovanca, pandangannya melembut. "Gue paham apa yang lo lakuin dan untuk apa, dan gue bersyukur banget punya adik perhatian kayak lo. But I can handle things on my own, jadi tolong jangan ikut campur terlalu banyak."
Asa membanting diri di kasur setelah mengunci pintu kamarnya. Ia sadar ia tidak perlu merasa bersalah karena meninggalkan Anna di parkiran, tapi tetap saja perasaannya tidak enak. Ia hanya ingin mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Anna seperti dulu.
Andai semudah itu.
Ia memejamkan matanya sambil menghela napas berat. Berkali-kali Asa meyakinkan dirinya bahwa ini hanya cinta monyet masa SMA, dia akan move on dalam kurun waktu maksimal enam bulan dan Anna hanya akan menjadi bagian masa lalunya. Anna hanya akan menjadi kisah yang akan ia ceritakan ke anaknya nanti.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
Teen FictionEnigma [ɪˈnɪɡmə]: Noun 1: A person or thing that is mysterious or difficult to understand. Asa tidak pernah berusaha untuk memahami kepribadian orang. Untuk apa? Bikin pusing. Lagi pula dia bukan cenayang. Setelah bertemu Anna, Asa mulai menyesali k...