Jakarta pukul tiga pagi di hari Minggu ternyata masih bisa dibilang ramai. Masih banyak motor-motor yang bergerombol membelah jalanan, masih banyak pengamen, dan badut-badut di pinggir jalan.
Kedua remaja itu duduk di mobil, kecepatannya tidak lebih dari 40km per jam. Lagu dari radio mengalun pelan, menemani perjalanan mereka mengelilingi Jakarta.
Anna menumpu dagunya dengan tangan, matanya menatap ke luar jendela. Sinar merah dari lampu lalu lintas yang bercampur dengan sinar terang dari papan reklame menyinari wajahnya.
Kedua tangan Asa masih di setir, namun matanya melihat ke arah gadis yang duduk tanpa suara di sebelahnya. Pucat wajah Anna terlihat semakin pucat karena cahaya putih dari papan reklame. Kantung matanya terlihat jelas karena ia tidak mengenakan make up sama sekali.
Hampir satu jam perjalanan itu tidak ada yang bicara sama sekali, namun kesunyiannya terasa nyaman. Yang gadis sibuk dengan pikirannya, yang laki-laki fokus dengan jalanan.
Suara getaran dari ponsel asa di dashboard membuat keduanya menoleh. Asa mengambil ponselnya, bertepatan dengan lampu jalan berganti hijau.
"Speaker aja, jangan sambil nyetir," gumam Anna, matanya menatap lurus ke depan.
Asa memencet tanda speaker, lalu meletakkan ponselnya di paha. "Halo?"
"Di mana Mas? Disuruh pulang sama Bunda." Suara Jovanca terdengar.
"Gue lagi di Kota, paling 45 menit lagi sampe rumah. Lo pulang jam berapa? Bunda udah tidur?"
"Tadi jam dua sampe rumah. Belom, lagi nonton drama Korea dia."
"Dih, Ca, bilangin Bunda udah jam tiga pagi, udahan nontonnya. Emak lu tuh bener-bener dah."
"Gue udah bilangin tadi, alesannya sekalian nungguin gue sama lo pulang. Eh, nanti kalo sampe rumah masuk lewat pintu samping ya, kuncinya ada di bawah karpet. Kasian Mbak udah tidur."
"Sip. Lo tidur gih. Liatin Maya dulu, kalo dia di pinggir kasur, pindahin ke tengah. Nanti jatoh lagi kayak kemarin."
Asa meletakkan kembali ponselnya di dashboard setelah Jovanca memutuskan sambungan telepon.
"Lo mau ke mana lagi?" Tanya Asa, matanya bergantian melihat Anna dan jalan.
"Ke McD lagi aja, gue tungguin Alvin di sana," jawab Anna.
"Ah nanti lo nunggunya lama. Lo ke rumah gue dulu aja, kalo lo ngantuk bisa tidur."
Anna melebarkan kedua matanya, menatap Asa seperti laki-laki itu sudah gila. "Ngaco! Udah malem gini mana boleh sama nyokap lo!"
"Ini udah pagi." Asa mengambil ponselnya lagi, lalu memberikannya ke Anna. "Cari di kontak gue nama Bunda, telfon."
Anna melakukan seperti yang Asa suruh, lalu menyalakan speaker-nya.
"Kenapa, Sayang?" Suara Jennet terdengar.
"Bun, aku lagi sama Anna. Dia mau pulang tapi gerbang rumahnya udah dikunci. Ke rumah dulu boleh?" Anna lagi-lagi melebarkan kedua bola matanya.
"Anna anaknya Aretha?"
"Iya. Yang Bunda bilang cakep."
"Oh, boleh dong, boleh banget. Eh, Bunda titip martabak dong. Cokelat kacang wijen. Pake uang kamu dulu nanti Bunda ganti."
"Bunda tidur astaga udahan nonton dramanya." Asa mengusap wajahnya gemas. Anna mendengus geli.
"Brisik ah kamu, beliin martabaknya jangan lupa. Hati-hati ya Sayang, I love you." Lalu sambungan teleponnya terputus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
Teen FictionEnigma [ɪˈnɪɡmə]: Noun 1: A person or thing that is mysterious or difficult to understand. Asa tidak pernah berusaha untuk memahami kepribadian orang. Untuk apa? Bikin pusing. Lagi pula dia bukan cenayang. Setelah bertemu Anna, Asa mulai menyesali k...