Hampir empat bulan setelah Anna mendeklarasikan pertunangannya dengan Alvin di bandara. Anna masih tidak berbicara dengan Kiki maupun Jovanca, apalagi Asa. Jovanca dan Asa sudah tidak les lagi, jadi Anna sudah tidak pernah bertemu Jovanca. Evra dan Adit bahkan ikutan menjauh dari Anna.
Rasa bersalah Anna bertumbuh setiap harinya ketika melihat Asa, Adit, dan Evra berjalan bersama. Adit dan Evra bercanda seperti biasa, sementara Asa hanya berjalan mengikuti di belakang mereka dengan kepala menunduk. Sesekali Anna melihat wajah Asa ketika laki-laki itu tidak menunduk, dan itu hanya membuat Anna semakin merasa bersalah. Wajah Asa pucat, lingkaran hitam tergambar jelas di bawah matanya.
Ia sangat berharap Asa sudah bisa move on karena sudah empat bulan, namun ekspresi wajah Asa berkata sebaliknya. Anna sengaja berperilaku buruk agar Asa membencinya namun berkali-kali Anna berkontak mata dengan Asa, menandakan bahwa laki-laki itu sedang menatapnya.
Semua itu berlangsung sampai dua bulan selanjutnya. Asa mulai frustrasi karena sudah enam bulan dan seharusnya ia sudah bisa move on, namun setiap kali ia melihat Anna, ia masih merasakan rasa sakit yang sama. Ia masih memikirkan Anna sebelum ia tidur dan hal klise lainnya. Ia merasa sangat lemah, terutama ia laki-laki.
Jovanca beberapa kali mengenalkan Asa kepada teman sekolahnya namun tidak ada yang sukses; entah Asa merasa tidak nyaman atau si perempuan merasa Asa terlalu datar.
Mereka akan menghadapi ujian kenaikan kelas sekarang dan itu adalah fokus utama Asa.
"Sa! Ruang berapa?" Tanya Adit setelah mereka dibagikan kertas ujian.
"Uh," Asa melihat kertasnya. "Satu."
"Anjay! Asa kembali berjaya," seru Adit sambil cengengesan. "Gue mah apa tetep di ruang sembilan."
Asa hanya tersenyum tipis.
*
Asa mempersiapkan dirinya semaksimal mungkin untuk ulangan kenaikan kelas karena ibunya masih mengancam akan melarang Asa untuk bermain softball jika nilainya turun lagi.
Ia belajar sampai pagi dan itu membuatnya terlambat bangun. Buru-buru ia bersiap-siap, lalu mengendarai motornya ke sekolah bagai orang gila. Pengawas sudah mulai membagikan kertas soal ketika Asa masuk.
"Maaf, Pak," gumam Asa sambil memberikan kertas izin masuk kelas. Ia mencari meja yang masih kosong dan tubuhnya mendingin ketika melihat satu-satunya kursi kosong berada di belakang Anna.
Tidak memiliki pilihan lain, Asa hanya menghela napas. Ia mengambil papan jalan dan tempat pensilnya lalu berjalan ke mejanya.
Di tengah ulangan, Anna memutar badannya. "Pinjem rautan dong."
Tanpa suara, Asa mengambil rautan dari tempat pensilnya. "Jangan diilangin."
Anna hanya mengangguk.
Ulangan kedua hari itu adalah Kimia dan Asa sudah mempersiapkan dirinya semaksimal mungkin. Kimia tidak pernah menjadi mata pelajaran favoritnya; Asa benci Kimia.
Begitu soal dibagikan, laki-laki itu langsung mulai mencorat-coret di kertas yang diberikan, berusaha mencari jawaban.
Satu jam berlalu, masih ada tiga puluh menit untuk mengerjakan soal. Asa masih memiliki enam nomor tidak terjawab dari 35 soal. Berkali-kali ia mencorat-coret untuk mencari jawabannya, namun masih tidak ketemu.
Asa melihat ke depan dan mendapati bahwa pengawasnya sedang sibuk menulis sesuatu, entah apa. Perlahan, ia mencolek punggung Anna.
Anna duduk bersandar dan menoleh sedikit. "Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma
Teen FictionEnigma [ɪˈnɪɡmə]: Noun 1: A person or thing that is mysterious or difficult to understand. Asa tidak pernah berusaha untuk memahami kepribadian orang. Untuk apa? Bikin pusing. Lagi pula dia bukan cenayang. Setelah bertemu Anna, Asa mulai menyesali k...