"Apaan sih lo! Sok asik banget."Gadis itu menatap sebal ke arah Iqbaal yang dari tadi sibuk bertanya yang sebenarnya merupakan hal yang tidak penting.
"Iqbaal ini udah di depan kamar gue, dan lo mau ngapain lagi ngikutin gue sampai kesini?"
(Namakamu) menengadah, pria itu emang lebih tinggi daripada dia.
"Gue cuma pengen nanya! Lo kenapa nangis malam malam gini?"
"Itu ga penting buat lo Iqbaal. Mending sekarang lo pulang! Atau gabung sama temen-temen lo dibawah sana!"
(Namakamu) nyaris menggeram. Kenapa Iqbaal keras kepala banget?!
Menghela nafas, gadis itu membuka pintu kamarnya dan hendak masuk, namun Iqbaal asal nerobos masuk membuat gadis itu semakin menggeram menatap Iqbaal yang kini tersenyum. (Namakamu) memilih menutup pintu kamarnya dengan kencang, kemudian berlari menghampiri Iqbaal yang kini sudah tiduran di kasurnya.
"Iqbaal plissss!"
"Kasih tau dulu ke gue, kenapa lo nangis?!"Iqbaal berdiri dari tidurnya setelah (Namakamu) menarik-narik berusaha menarik-narik tangannya.
"Ini sama sekali ga pent---"
"Apaaa? Ga penting lo bilang?! Lo bisa ga sih peka sama keadaan sekitar lo. Lo pikir gue ga khawatir gitu nengok lo sedih? Lo harus tau... Ckkkk mesti berapa kali gue bilang, kalau gue suka sama lo. Gue sayang sama lo. Gue pengen lo jadi pacar gue. Coba deh lo pikir, cowo mana yang ga khawatir kalau tau cewe yang disayang sama dia nangis malam malam gini?! Makanya-----"
"Aaaaaaa"(Namakamu) memekik menghentikan suara Iqbaal yang erus saja meracau. Menghancurkan pikiran gadis itu sendiri. Air matanya mengalir menelusuri pipinya.
"Lo ga tauuuuu! Apa yang gue alamin ini terlalu berat untuk diceritain! Gue sedih! Gue kecewa! Gue capek! Capek ngejalani hidup! Lo ga bakal pernah ngertiiiiiiii!"Air mata itu semakin mengalir deras. Semuanya seperti berlomba lomba untuk turun dari matanya. Bahkan untuk saat ini, (Namakamu) malah semakin lega ketika dia tau kalau Iqbaal menarik bahunya kedekapan pria itu. Tubuh gadis itu hanya sedada Iqbaal. Tangannya bergerak memeluk pinggang Iqbaal. Membenamkan wajahnya di dada Iqbaal. Menangis kencang mengeluarkan semua masalahnya.
Tanpa disangka juga, Iqbaal tersenyum manis. Ada rasa bahagia dalam hatinya ketika gadis itu tak memberontak. Sambil menggigit bibirnya untuk menahan senyumnya agar tak semakin mengembang, Iqbaal mengelus punggung (Namakamu), sesekali memainkan rambut (Namakamu) yang terikat tak beraturan.
'Gue ga tega liat lo nangis, tapi emang cuma cara ini doang yang bisa buat lo jadi lunak ke gue.'
"Nangis aja terus (Nam...), ntar kalau udah tenang, lo bisa cerita ke gue."
Iqbaal mencium puncak kepala (Namakamu), setelah yakin tak ada reaksi dari (Namakamu), Iqbaal kembali mengelus kepala gadis itu.
'Anjirrrr, demi apa, gue nyium kepala doi.'Dalam hati Iqbaal menjerit sangking girangnya.
*
(Namakamu) mengerjapkan matanya ketika cahaya matahari itu berhasil menembus jendela dan berhasil membuat matanya risih. Gadis itu bangkit dari tidurnya dan duduk di pinggiran kasur sambil menguap. Kepalanya masih benar benar pusing tak terkendali. Memejamkan mata sejenak, kemudian dia berdiri.
Matanya menangkap Iqbaal yang kini tertidur pulas di karpet halus di depan televisi. (Namakamu) tersentak. Kemudian duduk lagi sambil mengingat apa yang terjadi semalam. Tak lama, senyuman di bibirnya terbentuk dengan sempurna. Iqbaal emang selalu datang di saat yang tepat. Andai Iqbaal tau perasaan (Namakamu) kepada dirinya. Andai (Namakamu) mempunyai sedikit keberanian untuk mengutarakan perasaannya. Dannnnn, andai penyakit itu ga ada.
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Lie
Teen FictionEmang susah meyakinkan seseorang bahwa kita mencintainya. Benar-benar mencintainya. Kita mengganggunya karena ingin menunjukkan bahwa kita benar-benar mencintainya namun ketika dia menyuruh kita menjauh. Kita bisa apa? Hanya menjauh. Menjauh sedikit...