Bulan sudah berganti tugas dengan matahari. Saatnya semua manusia kembali pada aktivitasnya sehari-hari. Karena ini hari Minggu, (Namakamu) bebas melakukan apa saja. Sangking bebasnya, hingga sekarang pun (Namakamu) belum ada niat untuk membuka matanya.
Mungkin efek menangis semalaman membuat (Namakamu) susah untuk membuka matanya. Gadis itu bergerak sambil merentangkan kedua tangannya dengan kedua kaki yang dibiarkan bergerak liar. Kemudian mengerjap sambil menguap ketika sebuah cahaya berhasil menembus kelopak matanya.
(Namakamu) beranjak dari tidurnya dan segera turun kebawah. Kalau bukan karena perutnya lapar, dia ga bakalan mau bangun dari tidurnya.
"Pagi."Sapanya dengan mulut terbuka, menguap. Berhasil mengalihkan pandangan semua yang ada di meja makan.
"Eh pagi sayang. Udah bangun rupanya."Kata mama (Namakamu) yang ditanggapi dengan anggukan kecil oleh (Namakamu).
(Namakamu) menarik kursi kosong tepat disamping Karel yang berhadapan dengan BD. Sambil menuangkan serealnya, gadis itu menguap lagi.
"Ohya (Nam..), ntar temenin mama ke rumah sakit yah."(Namakamu) mendongak ketika sedang menuangkan susu kedalam mangkoknya, tapi kemudian mengangguk bingung.
"Mama sakit apa?"Baru saja (Namakamu) hendak bertanya, namun keduluan dengan BD.
"Cuma mau cek tensi mama doang."
"Ohhhh."
*
(Namakamu) diam ketika dirinya dan mamanya sudah tiba dirumah sakit dan sedang duduk di hadapan dokter muda itu.
(Namakamu) sudah tau apa tujuan mamanya mengajak dirinya ke rumah sakit, yang jelas bukan untuk mengecek tensi. Tapi berhubungan dengan penyakit yang belakangan ini merisaukan hidup (Namakamu).
"Gimana dokter hasil lab-nya?"Tanya mama (Namakamu) dengan raut wajah gelisah.
"Saya gak pernah merasakan hal aneh dengan anak saya dok, bahkan dia kelihatan seperti baik-baik saja. Saya jadi ragu dengan hasil yang dua tahun lalu itu."
---
Flashback on."Dokter jadi anak saya sakit apa?"
Mama (Namakamu) mengusap air matanya. Sekitar sejam yang lalu, (Namakamu) mengalami kejang-kejang dan segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah diperiksa, dokter perempuan yang biasa dipanggil Dokter Ami itu menyuruh mama dan papa (Namakamu) mengikutinya ke ruangannya, meninggalkan (Namakamu) yang tengah terbaring lemah yang dijaga oleh BD dan Karel.
"Sebenarnya, saya juga ragu dengan hasil lab ini bu. Tapi saya ga bisa berbuat apa-apa. Ini, silahkan dibaca."Ucap Dokter Ami sambil menyerahkan sebuah amplop besar berwarna coklat muda. Mama (Namakamu) buru-buru meraih amplopnya dan membuka amplop itu dengan cepat.
Mama (Namakamu) diam setelah meraih dan membaca kertas didalamnya. Sambil menatap Dokter Ami, air matanya mengalir tanpa aba-aba. "Dok..."Suaranya gemetar.
"Ga dok... Engga."Suaranya melemah ketika mendapatkan elusan lembut dari suaminya.
"Mungkin karena faktor keturunan."
Flashback off.
---Dokter Ami tersenyum sekilas, "Menurut hasil lab, penyakitnya memang gak ada."
(Namakamu) membulatkan matanya, tak sadar senyumannya tercetak jelas dibibirnya. "Dokter serius?"
Dokter Ami memgangguk sambil tersenyum, "Sebelumnya kami dari pihak rumah sakit minta maaf ya bu. Kesalahan teknis, makanya awalnya saya juga ga tau kenapa bisa (Namakamu) kena penyakit semengerikan ini"
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Lie
Подростковая литератураEmang susah meyakinkan seseorang bahwa kita mencintainya. Benar-benar mencintainya. Kita mengganggunya karena ingin menunjukkan bahwa kita benar-benar mencintainya namun ketika dia menyuruh kita menjauh. Kita bisa apa? Hanya menjauh. Menjauh sedikit...