Olivia Antariksa mematut wajahnya didepan cermin dengan sedikit antusias. Dia telah berulang kali menghafalkan skenario perkenalan diri untuk besok, hari pertamanya bekerja di sebuah perusahaan Otimotif. Setelah berusaha selama 3 tahun di kotanya, Olivia mencoba melamar pekerjaan di berbagai perusahaan yang berbasis di liar daerah dan akhirnya Olivia di terima di PT. JS Indomobil Motor TBK di bagian IT.
Berulang kali Olivia tersenyum dan melafalkan berbagai sapaan dan mengulangnya kembali ketika menurutnya sedikit berlebihan. Dia mencoba semuanya, mulai dari seragam, sepatu, hingga make-up yang akan di kenakannya besok. Setelah semuanya cocok dengan keinginannya, Olivia mengembalikan barang-barang itu ke tempatnya dengan rapi. Dia bahkan menyetrika ulang kemejanya yang sedikit terlipat dibagian siku, dengan harapan kesempurnaan akan datang sesuai harapan.
Pukul 8 malam, Olivia mulai membuka aplikasi obrolan untuk mengabari temannya satu persatu. Dia memang sudah tiba di Jakarta 4 hari yang lalu tetapi dia terlalu sibuk menata tempat tinggal dan membeli peralatan seadanya untuk mengisi kamarnya serta mengurus ijin tinggal sementara di kota ini. Untung saja dia sudah mencari tempat tinggal lewat internet sebelum tiba di Jakarta, jadi dia hanya perlu mencari alamat rumah sewanya dan membayar separuh pembayaran yang belum dilunasi ketika dia tiba di Jakarta.
Sebenarnya tempat ini tidak bisa di sebut 'rumah' secara harfiah. Karena ruangan ini begitu kecil dan hanya terdapat dua sekat yang masing-masing membatasi privasi kamar tidur dan kamar mandi. Begitu membuka pintu, dia akan menemukan dapur di sebelah kiri yang di dekatnya ada kamar mandi yang benar-benar mini. Kamar tidurnya begitu mungil dan hanya muat untuk satu kasur serta sebuah lemari pakaian kecil. Meskipun begitu, Olivia sudah sangat bersyukur bisa mendapatkan rumah ini sebab lokasinya tidak begitu jauh dari kantornya. Dia hanya perlu duduk manis di Transjakarta selama 10 menit jika jalanan lancar dan 30 menit jika jalanan benar-benar macet dan halte bus sendiri terletak hanya 5 menit berjalan kaki dari rumahnya. Benar-benar keberuntungan yang bagus.
Olivia merebahkan dirinya di kasur menunggu balasan dari teman-temannya yang kini sudah terpencar-pencar. Hanya inilah yang bisa dilakukannya untuk tetap mendengar kabar terbaru mereka. Sesekali mereka melakukan chat group dan selalu diakhiri dengan perasaan sedih karena tidak bisa berkumpul secara nyata.
Sudah setengah jam tapi belum ada satu balasan pun dari mereka. Sambil menghela nafas, Olivia berbaring telentang dan mengambil ponselnya yang tadi ia biarkan tergeletak di sampingnya dengan perasaan bimbang. Mama-nya pasti sudah tidur, tetapi dia tetap ingin memberi kabar.
Mam, besok aku masuk kerja. Doa 'kan aku ya..
Dan tidak sampai 5 menit, sebuah panggilan dari nomor Mama langsung berdering. Buru-buru Olivia mengangkat telponnya dengan senyum terkembang.
"Jangan khawatir, Mama akan selalu mendoakanmu. Ingat Olivia, yang penting harus selalu sabar dan tersenyum." Ujar Mama di akhir pembicaraan.
Selalu seperti ini, setiap kali berhubungan dengan sang Mama dia selalu merasa sedih. 23 tahun hidup bersama dan sekarang harus terpaksa berpisah, ini hal yang benar-benar berat untuk Ia jalani.
"Semuanya akan baik-baik saja." ujarnya menghembuskan nafas dan tersenyum untuk menyemangati dirinya sendiri.
Gadis itu mematikan musik yang sedari tadi menyala di ponselnya lalu menyalakan lampu tidur yang bercahaya minim. Dia tidak suka terlalu gelap. Itu membuatnya sedikit cemas dan gelisah dalam tidur. Jadi Olivia selalu menghidupkan lampu tidur meskipun cahaya lampu jalan menembus kolong pintu rumahnya, menyisakan petak-petak sinar suram yang menghiasi lantai.
ㅡ
Olivia berjalan tergopoh-gopoh memasuki Lobi yang dibanjiri lautan manusia. Semalam dia terlalu percaya diri menghafal berbagai kalimat sapaan untuk sesi perkenalan diri, sampai lupa memasang Alarm untuk bangun lebih awal. Bahkan dia tidak sempat sarapan, hal yang tidak pernah dia lewatkan sebelumnya.
Kakinya mencoba melewati kerumunan orang-orang yang berdesakan menunggu antrian Lift yang penuh dan sesak. Saat ini dia hanya punya dua jalur untuk menuju tempat yang Ia tuju; ikut menunggu antrian lift yang sudah pasti ia yakini ratusan kali akan membuatnya terlambat atau mencari tangga darurat yang akan membuatnya lebih cepat sampai tapi beresiko semua pakaiannya akan basah oleh keringat. 'Celaka!!' Keluhnya panik.
Tapi setelah berpikir lagi tentang resiko yang akan ia dapat lebih parah jika ia menunggu Lift, akhirnya Olivia berlari juga menuju pintu yang akan menghubungkan dirinya dengan ratusan anak tangga darurat. Olivia berlari menaiki anak tangga secepat ia bisa tanpa memperhatikan sekitarnya, bahkan Ia tidak sadar di tangga teratas ada sebuah ember yang akan menjadi bencana jika sekarang dia masih berlari dengan cara seperti itu.
Bunyi klontang bergema memenuhi ruangan itu ketika Olivia menabrak ember penuh air sabun itu, embernya berguling menuruni tangga, menumpahkan air sabun di anak-anak tangganya.
Nah ini namanya Celaka kuadrat!
Olivia mendongak keatas dan mendapat seseorang menatapnya terkejut dengan dua tangan memegangi gagang kain pel.
"Maaf... Mas, saya minta maaf... Saya ceroboh.. Jam, jamnya sudah..." ujar Olivia kalut dan terbata-bata. Kini punggung dan pelipisnya mengucur keringat. Kenapa pagi ini ia begitu sial!
"Sudahlah..." ujar Pria itu menghela nafas dan turun mendekati Olivia. "Cepat pergi!" sambungnya dengan nada jengkel.
Olivia menunduk berkali-kali dan meminta maaf untuk yang kesekian kalinya namun pria itu bergeming dan membereskan kekacauan yang sudah Olivia buat. Segera saja Olivia melesat menaiki tangga menuju lantai lima belas, ketempat Bos yang sudah menunggu kehadirannya pukul delapan tepat.
Berkali-kali menghembus dan menarik nafas, membetulkan tatanan pakaiana dan bercermin di kaca yang terbentang dari mulai Ia keluar pintu darurat hingga berada tepat di depan pintu ruangan yang menurut seseorang yang Ia tanya tadi adalah dimana Bos besarnya itu menunggu.
Ia kembali tersenyum, menyemangati dirinya sendiri dengan berujar beberapa kali semuanya akan baik-baik saja didalam hatinya, namun bohong, Olivia yakin ucapan hatinya berbohong karena pada saat pintu ruangan tersebut Ia buka wajah meremehkan menyambut dirinya dengan dengusan malas.
ㅡ
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Suspicion
Mystery / Thriller"Cium aku, Mel.." Amel menatapnya bingung. "Apa?" "Cium aku. Sekarang juga." Ujarnya penuh penekanan, mengabaikan keterkejutan Amel yang semakin jelas. "Anggap saja aku sedang mabuk atau apapun. Tapi kumohon cium aku sekarang sebelum aku berubah p...