Olivia tidak sadar dia sudah bekerja selama Sembilan jam nonstop dan perutnya bergemuruh keras, berteriak memaksanya untuk segera mengisi lambung dengan makanan. Dengan langkah kaku, Olivia berjalan keluar ruangan yang kosong, karena Didit sudah pulang duluan setelah membantu separuh dari pekerjaan yang dilimpahkan kepada Olivia. Dalam hati dia berjanji akan mentraktir pria itu makan enak saat upah pertamanya turun.
Seperti biasa, Olivia memenuhi plastik ditangannya dengan sandwich kemasan dan beberapa kaleng minuman, kopi, jus dan soda. Dia menaiki lift menuju lantai teratas Gedung Inti dan menaiki anak tangga satu persatu sebelum akhirnya menemukan pintu atap.
"Aku pikir kamu tidak akan datang." Ujar suara yang sudah sangat dikenalinya.
Senyum kecil terukir diwajah Olivia dan dia bersyukur bahwa dia menyempatkan diri untuk datang kesini.
"Ini kan tempat favoritku. Mana mungkin aku tidak datang," balas Olivia sambil duduk diatas kursi panjang, persis beberapa meter disebelah Semmy.
Dia bisa mendengar Semmy disampingnya mendengus tetapi Olivia sudah mengubah perspektifnya tentang Pria ini sama sekali. Dia memutuskan untuk tidak berpikiran negatif tentangnya. Semmy mungkin memiliki mulut tajam dan sikap yang tidak ramah, tetapi Olivia menyadari bahwa dia orang baik, yang mau menolong Olivia dan mengobati lukanya. Bahkan mengantarnya pulang.
"Ehm.. Semm, terima kasih telah menolongku tadi malam."
Tidak ada jawaban apapun dan Olivia mengerucutkan bibirnya. "Apa susahnya mengucapkan 'sama-sama'?" Dan Olivia malah mendapatkan lirikan sinis. "Sem, berhentilah bersikap begitu. Aku tidak akan menganggapmu mengerikan atau menyebalkan lagi. Ehm... tapi.. menyebalkan mungkin masih." ucap Olivia terus terang lalu tertawa pelan.
Setelah menghela napas Semmy menjawab, "kamu benar-benar gadis paling keras kepala dan paling aneh yang pernah aku temui. Tidak bisakah kamu menjauhiku saja?"
Olivia tertawa mendengar gerutuan Semmy dan melempar minuman bersoda kepadanya. "Jadi kamu sengaja bersikap begitu? Bukankah itu membuatmu tidak punya teman?" tanyanya ingin tahu. Perkataan Risma yang masih melekat dikepalanya membuatnya penasaran setengah mati dan dia memutuskan untuk mencari tahu yang sebenarnya.
Cukup lama sebelum akhirnya Semmy mau membuka mulut lagi. "Teman? Kamu bercanda. Apa kamu sadar tidak ada yang sudi berteman denganku?"
"Kenapa kamu beranggapan begitu?" tanya Olivia dengan sedikit tidak acuh walaupun dia sangat bersemangat.
"Akui saja, Olivia. Kamu pasti sudah mendengar desas-desus tentangku, bukan?" Semmy melirik dengan ekor matanya, jelas sekali berusaha mengintimidasi.
Pertanyaan itu sempat membuat batin Olivia mencelos. Dia sedikit bimbang dengan apa yang akan dikatakannya. Tapi menurutnya kejujuran lebih berharga daripada harus mengatakan kebohongan. Lagipula dia memang bertekad untuk mengetahui siapa sebenarnya Semmy pemarah-tapi-baik hati ini.
"Yah, kamu benar. Tapi, seperti yang kamu bilang, itu hanya desas-desus. Bukankah lebih baik kalau aku mengetahui kebenaran akan desas-desus itu langsung darimu?"
Kalau tadi Semmy hanya melirik dari ekor matanya, kini pria itu benar-benar memalingkan wajahnya ke arah Olivia dan menatap dengan penuh selidik. Mata cokelat pudarnya menyelami pikiran Olivia dengan seksama, membuatnya sedikit salah tingkah.
Entah berapa lama mereka bertatapan hingga Olivia mengira waktu seakan berhenti ketika tiba-tiba bibir yang mengatup itu bersuara. "Tidak ada yang perlu kamu ketahui, Olivia. Aku tidak peduli kamu mau mempercayai desas-desus yang beredar atau tidak, karena itu tidak penting bagiku. Aku peringatkan, sebaiknya kamu berhati-hati dengan rasa penasaranmu karena bisa saja hal itu menjadi bumerang yang akan menyakitimu." Tandasnya lalu bangkit, berjalan menuju pintu.
Sekali lagi, Olivia harus menelan semua kata-kata Pria itu tanpa punya kesempatan untuk bertanya atau sekedar protes. Dia cukup yakin atmosfir diantara mereka sedikit membaik tetapi mengapa semuanya langsung berubah dalam sekejap?
Olivia berjalan menyusuri hall Gedung Inti dengan tidak fokus, pikirannya masih menyelisik perkataan terakhir Semmy tadi. Matanya mencari ke penjuru ruangan, berharap menemukan siluet Semmy meskipun dia tidak mengerti kenapa dia mengharapkan hal itu.
"Woy!" Sentak seseorang di sebelahnya dan cepat-cepat Olivia berbalik menghadap ke sumber suara.
Sebuah wajah yang familiar menatapnya dengan penuh amarah. Tentu saja Olivia tahu siapa gadis ini, dia adalah Amelia Malik, model papan atas yang telah resmi menjadi brand ambassador sepeda motor untuk wanita keluaran terbaru JS sekaligus pemegang saham perusahaan ini. Selama sebulan bekerja, tidak pernah sekalipun Olivia melihatnya secara langsung walau dia memang sangat ingin bertemu dengan model cantik itu.
"Perhatikan cara berjalanmu!" lengkingnya emosi, membuat beberapa pasang mata menatap ke arah mereka dengan ingin tahu. Olivia segera mengalihkan pandangannya ke bawah, dan menemukan kakinya tengah menginjak ujung gaun Amelia yang menjuntai hingga ke lantai.
"Maa..maafkan aku," seru Olivia panik sambil membungkuk berulang kali. Sementara Amelia hanya menatapnya tidak suka dan mengibaskan rambutnya yang indah dengan gerakan anggun.
"Baiklah. Lain kali hati-hati." Ujarnya melunak dan meninggalkan Olivia yang terus saja menatapnya kagum. Amelia Malik memang bukan sembarang model, selain tinggi dan langsing, wajahnya juga sangat cantik, mata besar dan bulat, pipi yang kemerah-merahan, di tambah hidung mancung dan bibir yang merah alami. Dengan lesung pipi di sebelah kanan dan rambut hitam berkilau yang jatuh hingga ke pinggang serta kaki jenjang yang indah membuatnya di gilai banyak pria.
Dan walaupun gadis itu sudah berlalu dari hadapan Olivia, tetap saja dia tidak bisa berhenti menatap punggung Amelia yang menuju elevator. Dia sekarang mengerti mengapa banyak yang bilang bahwa Amelia tidak fotogenik, karena gadis itu memang sepuluh kali lebih cantik dibanding cover majalah dengan wajahnya, yang menurut Olivia sudah sangat sempurna. Tidak heran dia memiliki penggemar dengan sebutan Angel A.
Olivia memandang bayangan dirinya lewat pintu kaca dan menghela nafas. Dia tidak bisa di katakan jelek atau biasa saja. Olivia cukup cantik, itulah yang dikatakan orang-orang padanya, tapi tetap saja dia tidak akan bisa menyamai kecantikan Amelia. Wajah dan tubuhnya proposional, mata bulat, hidung mancung serta bibir tipis, meskipun demikian, dia tidak memiliki kaki jenjang yang indah atau lekuk tubuh yang seksi. Olivia hanya... yah, wanita biasa dan sederhana. Sangat tidak mungkin baginya untuk bisa berdiri di samping Amelia tanpa merasa malu setengah mati.
Tapi tidak pernah sekalipun dia berharap untuk menjadi orang lain karena menurutnya apa yang di milikinya saat ini adalah anugerah dan sangat tidak pantas jika ia malah menyesali apa yang dimilikinya.
ㅡ
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Suspicion
Mistério / Suspense"Cium aku, Mel.." Amel menatapnya bingung. "Apa?" "Cium aku. Sekarang juga." Ujarnya penuh penekanan, mengabaikan keterkejutan Amel yang semakin jelas. "Anggap saja aku sedang mabuk atau apapun. Tapi kumohon cium aku sekarang sebelum aku berubah p...