Bagian 45

3.1K 193 1
                                    

Amelia berkeras agar Semmy segera pindah ke hotel tempat mereka menginap. Semmy menolak dengan cepat tetapi kemudian dia mengalah dan mengatakan akan pindah besok siang asal saat itu juga mereka berdua kembali ke hotel di antar olehnya langsung.

Sepanjang jalan Amel terus menggandeng lengan Semmy membuat situasi semakin tidak nyaman, setidaknya bagi Olivia. Semmy hanya menggumamkan beberapa jawaban dengan enggan ketika Amel bertanya, tapi tiba-tiba saja suasana menjadi tegang saat wanita itu bertanya dimana Alistar.

"Ka Ali, dia..menghilang.." Bisik Semmy sepelan mungkin. Sebenarnya hal itu tidak perlu, mengingat mereka sedang berada di pusat kota yang tingkat polusi suaranya sudah mencapai angkat delapan puluh lima persen.

Amelia yang lebih dulu bereaksi dari pada Olivia. Gadis itu menghentikan langkahnya dan menatap Semmy bingung. "Apa maksudmu dengan menghilang? Bukankah kamu mengikutinya kemari?"

Semmy menggeleng resah. "Aku kehilangan jejaknya satu hari setelah aku tiba di sini. Dengar, sebaiknya kita membicarakan masalah ini besok. Ada begitu banyak telinga yang bisa mendengarkan pembicaraan kita. Rio De Janeiro tidak seaman Jakarta." Tandasnya dalam bisikan. Amel mengangguk patuh meski airmatanya mulai merebak.

"Istirahatlah, Mel. Besok akan menjadi hari yang melelahkan.." bujuk Semmy sambil menyeka airmata Amel di sudut pipinya. "Masuklah." Pintanya lagi. Lalu pria itu menghadap Olivia yang segera menjadi kaku dan salah tingkah.
"Selamat malam Olivia.. sampai jumpa lagi.." bisiknya pelan.

Olivia bahkan tak mampu untuk membalas ucapan Semmy saat pria itu memanggilnya dengan kaku. Dia hanya terdiam dan memandangi punggung Semmy yang menjauh, menghilang ditelan ratusan orang yang memadati jalan.

"Cepatlah, Oliv." Seru Amel dari depan lift dan dengan berat hati, Olivia berbalik, melangkahkan kakinya menuju lift.

Kondisi hati Amel buruk sekali malam itu. dia terus-terusan menangis dan ketika Olivia berusaha menghibur, gadis itu menyuruhnya tutup mulut sampai gadis itu tertidur masih dengan tisu di genggamannya.. Olivia baru akan membereskan kekacauan itu ketika dia mendengar telepon di kamarnya berdering.
Sebersit perasaan ragu memperingati otaknya untuk mengabaikan panggilan itu. Tapi sebagian lagi dipenuhi rasa penasaran karena dia yakin tidak ada yang mengetahui nomor telepon kamar ini. setelah dering kelima, Olivia memutuskan untuk mengangkatnya.

Tidak ada salam, tidak ada perkenalan diri atau bahkan permintaan maaf. Kata-kata yang didengar Olivia hanyalah sebuah permohonan singkat; "Bisakah kamu ke tempatku sekarang?"

Olivia tidak perlu bertanya lagi karena dia sudah tahu siapa penelpon itu. Dan hal berikutnya yang dia ketahui, Olivia sedang berada di dalam taksi.

Napasnya nyaris tercekat saat melihat wajah Semmy yang berada di depannya. Kedua tangan Semmy langsung mendekapnya erat. Pelukannya masih sehangat terakhir kali, membuatnya di banjiri perasaan lega.

"Ayo naik." Usul pria itu sedetik kemudian. Olivia mengangguk dan membiarkan Semmy menuntunnya masuk ke bangunan terlantar itu dengan enggan.

Keadaan di dalam bangunan itu sama buruknya dengan penampilan luar. Hanya ada beberapa kursi reyot dan sofa bulukan di sudut ruangan. Resepsionisnya seorang wanita, duduk di belakang meja panjang kusam dan berulang kali menekan remote dengan tampang masam. Wanita afro itu melirik Semmy sekilas lalu beralih kembali pada sebuah televisi di sudut atas, sama sekali mengacuhkan Olivia.

Mereka menaiki tangga yang pegangannya sudah berkarat. Samar-samar tercium bau alkohol dan Olivia merasa mual. Tempat ini benar-benar berbau tidak menyenangkan. Dia baru akan bertanya bagaimana bisa Semmy tinggal di tempat ini, ketika mereka tiba di tingkat dua dan Semmy mendorong sebuah pintu yang terletak lima meter dari ujung tangga.

Her SuspicionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang