Olivia merasakan migrain mendera kepalanya, bersamaan dengan denyut di pelipisnya yang semakin parah. Dia berusaha membuka matanya namun pandangannya terasa kabur. Olivia mengumpulkan kekuatan dan mencoba menggerakkan tangan tetapi sesuatu menahan pergelangan tangannya. Dia mengejang ketakutan dan kesadarannya perlahan timbul.
Ruangan itu berukuran tiga kali empat meter. Dengan sebuah jendela kaca yang terletak di sisi kepala Olivia. Pintu kayu dengan cat putih yang mengelupas di bagian atas berdiri tak jauh dari kakinya. Tak ada apapun di ruangan itu selain tempat tidur kecil yang kini sedang ditidurinya. Dia menggeliat, berusaha menarik tangannya tetapi rasa sakit itu kembali menjalar. Olivia terkesiap ketika dia mengetahui bahwa kedua tangannya terikat kuat di kedua sisi tempat tidur. Tidak hanya tangan, bahkan kakinya juga terikat, membuatnya tak bisa menggerakkan apapun kecuali kepalanya.Namun secara tak terduga, pintu di depannya membuka. Dua orang muncul dan salah seorang pria yang mengenakan setelan jas langsung menyeringai senang pada Olivia. Kedua pria itu mendekat dan saling bercakap-cakap menggunakan bahasa Portugis. Lelaki dengan jas bergaris-garis itu mengulurkan tangannya, menyentuh wajah Olivia dengan hati-hati dan bergumam sendiri.
"Hands off!" teriak Olivia dengan tubuh menggigil. Ada yang salah disini. Dia tidak hanya di jadikan tawanan. Menilik cara pria itu menatapnya lapar, Olivia yakin dia sedang menghadapi mimpi buruknya yang menjadi nyata.
"Wait me, baby." Desah pria itu di telinga Olivia. Dia juga memamerkan deretan giginya dengan berdesis tak sabar. Olivia bahkan bisa melihat pria itu tak sanggup menelan nafsunya lebih lama. Tetapi kemudian pria yang berdiri di depan pintu mengucapkan sesuatu dan kepalanya mengedik ke arah pintu. Lelaki dengan wajah mesum itu terlihat kecewa dan dia menatap Olivia tak berdaya.
"See you." Ujarnya menyeringai dan menghilang dari balik pintu. Olivia masih belum bisa berhenti bergidik. Dia mencoba menjelajahi ruangan, mencari sebuah cara agar bisa kabur dari tempat ini, tapi tampaknya percuma. Dengan tali-tali yang mengikat tubuhnya erat, dia nyaris tak bisa melakukan apapun saat ini. Dan lagi, dia sama sekali tidak mengetahui dimana dia sekarang. Sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri? Apakah Semmy sudah menyadari bahwa dia telah menghilang?
Hatinya bagai tertusuk sembilu begitu memikirkan nama itu. Kesedihan langsung menemukan tempat untuk bersarang di hatinya dan tubuhnya berguncang karena menahan isakan tangis. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Olivia memutar kepalanya dan melihat siluet sebuah puncak gedung di kejauhan melalui jendela di atas kepalanya. Itu berarti dia tidak berada di lantai dasar. Suara hiruk pikuk yang sepertinya teredam jauh juga semakin membenarkan kecurigaannya. Jantungnya mencelos. Kalaupun dia bisa melepaskan semua tali ini, dia tetap tidak akan bisa kemanapun. Pilihannya adalah lompat ke bawah atau menerobos penjagaan. Keduanya hampir mustahil.
Kepanikan melanda Olivia. Keringatnya mulai turun karena udara yang pengap di ruangan itu. Dia tahu pria menjijikan tadi pasti akan segera kembali. Apa yang harus dia lakukan? Membayangkan nafas pria itu membuatnya mual. Olivia harus memikirkan sebuah cara. Tapi apa?
Setelah menghabiskan beberapa menit bergumul dengan hatinya, akhirnya Olivia menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan selain berharap. Mungkin Tuhan akan mendengarkan ratapannya bila dia berdoa dengan bersungguh-sungguh. Tetapi terdengar derap langkah kaki yang semakin mendekat dan Olivia tahu waktunya tidak banyak lagi. Dia hanya sempat memikirkan wajah kedua orangtuanya, keluarganya, serta Semmy..
Pintu menjeblak terbuka dengan bunyi berdebum keras, hingga nyaris mematahkan engselnya. Wajah Olivia memucat, kelegaan dan keterkejutan terpapar di sana. Dia sama sekali tak pernah mengira bahwa pria yang mendatanginya tergesa-gesa itu adalah Semmy.
Semmy mengeluarkan pisau lalu memotong lepas ikatan tali yang mengekang tubuhnya. Dia belum mampu mengucapkan apapun, masih tak percaya bahwa kehadiran pria itu nyata adanya. Semmy sepertinya tak berniat menunggu reaksi Olivia karena dia langsung menggapai pergelangan tangan Olivia dan menariknya berdiri.
Semmy mundur dua langkah, membuat tubuh Olivia yang berada di belakangnya menempel di dinding lalu memberikan aba-aba. "Pada hitungan ketiga." Ucapnya tanpa menoleh. Olivia mengangguk meski masih belum yakin apa yang akan mereka lakukan.
"Satu— suara langkah kaki terdengar sayup-sayup.
"Dua— hentakan kaki-kaki yang berada jauh sepertinya semakin mendekat. Mendadak Olivia paham apa yang sedang terjadi.
"—Tiga!" raung Semmy dan detik itu juga pria itu berlari ke arah jendela dan menarik serta Olivia. Pecahan kaca yang menggores lengan dan wajahnya terasa perih namun tak cukup untuk membuatnya mengalihkan kenyataan bahwa mereka sedang melompat dari lantai empat, atau setidaknya itulah yang sanggup dihitung Olivia.Udara dingin menerpa wajahnya dan Olivia terlalu kaget untuk berteriak. Suaranya tercekat dan telinganya menangkap beberapa umpatan di belakangnya. Dia tahu penjaga-penjaga itu sedang mengejar mereka. Namun pikirannya tak bisa mengkalkulasikan apapun selain menghadapi fakta bahwa dia akan segera mati.
ㅡ
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Suspicion
Mystery / Thriller"Cium aku, Mel.." Amel menatapnya bingung. "Apa?" "Cium aku. Sekarang juga." Ujarnya penuh penekanan, mengabaikan keterkejutan Amel yang semakin jelas. "Anggap saja aku sedang mabuk atau apapun. Tapi kumohon cium aku sekarang sebelum aku berubah p...