"Jadi, kapan kita mulai latihan?" tanya Jongin dengan masih terengah-engah setelah bermain bola.
Ravi yang merebahkan diri di lapangan hanya menggeleng.
"Minggu depan," jawab Seungyoon sambil meneguk habis botol air mineral di tangannya.
"Di mana?"
Tidak ada satu pun yang menjawab.
"Gimana kalau kita pinjam ruang seni musik?" usul Hoseok.
"Good idea," kata Ravi. "Tapi, entar kamu yang ngomong sama Pak Seunghyun, soalnya aku mending latihan di tengah Tol Jagorawi daripada ngadepin bapak itu."
Jongin tertawa. "Benar-benar butuh orang yang punya nyali gede tuh."
Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, semua orang tiba-tiba langsung memandangnya.
"Hei, kalian ngelihatin apa?" tanya Jongin curiga dengan perasaan tidak enak. Mereka terdiam sejenak sebelum Dongho angkat bicara.
"Jong, karena kamu vokalis," katanya.
"Dan, vokalis biasanya berperan ganda sebagai pemimpin," timpal Hoseok.
"Kamu yang mesti ngomong sama Pak Seunghyun," tandas Jaebum.
Jongin hanya bisa berkata:
"HAH?"
Dia menggeleng, lalu bangkit sambil menyambar tasnya dan segera pergi meninggalkan mereka tanpa memedulikan jeritan-jeritan minta tolong yang juga diiringi tawa.
Hari itu, Jongin baru akan beranjak pulang setelah bermain bola bersama teman-temannya.
Ketika menyusuri koridor menuju lapangan parkir, Jongin mendengar ada seseorang sedang mengerjakan sesuatu di ruang Veritas.
Pukul setengah tujuh malam, dia melirik jam tangannya. Siapa yang masih beraktivitas pukul segini di sekolah?
Jongin membuka pintu Veritas perlahan-lahan. Sepasang sepatu cewek tergeletak di atas keset. Di ruangan, Soojung sedang sibuk mengetik sesuatu di depan komputer.
"Soojung?"
Soojung tampak sangat terkejut.
"Ngapain pukul segini masih di Veritas?" tanya Jongin heran.
"Ng-nggak ngapa-ngapain," jawabnya. "Kamu sendiri?"
Jongin mengangkat bahu. "Aku habis main bola, baru mau pulang."
"Oh..." kata Soojung, lalu kembali sibuk dengan apa yang sedang dia kerjakan.
Jongin menaruh tasnya di lantai, lalu duduk sambil memperhatikan sekeliling yang tiba-tiba penuh dengan tumpukan kertas. "Ini semua apaan?" tanyanya.
"Data siswa kelas XII," jawab Soojung tanpa menoleh sedikit pun.
"Kenapa ada di sini?"
"Aku harus merekap semuanya hari ini. Pak Junyoung minta hasilnya besok pagi," jawab Soojung, tapi kali ini nada suaranya mulai terdengar panik.
Jongin bersiul. "Woh, aku nggak tahu kalau Bapak itu sadis banget. Dia kasih kerjaan segini banyak hari ini, tapi mesti selesai besok. Bukan OSIS tuh namanya, tapi romusha."
"Bukan, ini bukan salah Pak Junyoung," kata Soojung. "Sebagai Pembina OSIS, dia udah sangat baik, tapi aku yang mengecewakannya. Dia udah ngasih tugas ini sejak sebulan yang lalu."
"Kenapa baru kamu bikin sekarang?"
"Nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini aku sering lupa," kata cewek itu panik. "Aku terlalu sibuk sama kegiatan yang lain. Manajemen waktuku jelek banget."
"Yah, walaupun begitu," Jongin menghela napas, "yang kayak gini nggak bisa dikerjain cuma dalam waktu 2-3 jam. Kenapa nggak ngerjain di rumah aja, sih? Daripada di sini sampai malem?"
"Aku takut kelupaan besok paginya."
Jongin berpikir sebentar, lalu menyalakan komputer satunya lagi dan mengambil beberapa tumpukan kertas di meja.
"Ini belum direkap, kan?" tanyanya.
"Kamu mau apa?"
"Bantu," jawab Jongin enteng.
"Nggak usah," tolak Soojung. "Aku nggak perlu bantuan! Kamu pulang aja!"
Tiba-tiba, Jongin membanting tumpukan kertas itu ke meja. Dia kesal dengan sikap Soojung.
"Denger, ya!" katanya dengan nada tinggi. "Aku nggak tahu, kamu menolak pertolonganku karena kamu pikir bisa mengerjakan ini semua atau karena kamu pikir aku mungkin cuma bakal mengacaukannya. Tapi, kalau aku nggak bantu, kamu bukan cuma bakal pulang malam, tapi kamu—bahkan—bakal pulang pagi!" Jongin menatap Soojung. "Dan, kamu cewek!" tambahnya. "Toh, walaupun aku yakin kamu bisa jaga diri, kamu seharusnya jaga nama baikmu juga!"
Wajah Soojung memucat, sepertinya dia tidak menyangka akan diberi reaksi seperti itu. Jongin menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri. Lalu, dia mengambil lagi tumpukan kertas yang tadi dia banting dan mulai mengetik. Setelah itu nggak ada satu pun dari mereka berdua yang bersuara.
"Aku..." kata Soojung kemudian dengan suara tercekat. "Aku pengen melakukan semuanya dan aku pikir, aku emang bisa melakukan semuanya."
Jongin menoleh menatapnya. Mata cewek itu mulai berkaca-kaca.
"Awalnya, aku yakin aku bisa," katanya. "Tapi, sekarang, aku sadar, aku salah."
Dia tersenyum getir seperti sedang menertawakan dirinya sendiri.
"Ternyata, aku nggak sehebat yang kupikir," katanya lirih. "Ternyata, aku lemah. Mengerjakan hal-hal sepele aja aku nggak bisa... Bodoh banget kalau aku ingin mengerjakan hal-hal hebat. Bodoh banget kalau aku ingin diakui sebagai orang yang hebat."
Jongin menghela napas. "Kamu nggak lemah," katanya lalu tersenyum. "Kamu cuma lupa meminta tolong."
Begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan Jongin, air mata Soojung langsung menetes. Jongin menyodorkan tisu di atas meja.
Melihat Soojung menangis, Jongin teringat puisi yang dibuat oleh Jinri: "Ketika wanita menangis, itu bukan karena dia ingin terlihat lemah, tetapi karena dia sudah nggak sanggup berpura-pura kuat."
KAMU SEDANG MEMBACA
(KAISTAL REMAKE) LET GO
Hayran KurguKau tahu apa artinya kehilangan? Yakinlah, kau tak akan pernah benar-benar tahu sampai kau sendiri mengalaminya. Jongin tidak pernah peduli pendapat orang lain, selama ia merasa benar, dia akan melakukannya. Hingga, suatu hari, mau tidak mau, ia ha...