Eighteen.

274 33 2
                                    

"Ada apa, Jongin?" tanya mamanya khawatir sambil menyalakan lampu kamar. "Kayak nggak ada orang rumah waktu Mama pulang. Kenapa lampu kamarmu nggak kamu nyalakan? Ada apa? Kamu sakit?"

Mama bergegas menaruh telapak tangannya ke dahi anaknya itu.

"Nggak apa-apa, Ma," kata Jongin sambil menegakkan badan untuk duduk. "Aku cuma pengin tidur cepat."

"Kamu ini nggak pintar berbohong," desah Mama. "Mama sudah hafal tabiatmu. Kamu cuma tidur cepat kalau ada masalah. Coba ceritakan pada Mama ada apa."

Jongin tetap diam.

"Jongin," kata sang Mama lembut, "mana tahu Mama bisa bantu. Lagi pula, Mama merasa Mama berhak untuk tahu tentang kehidupanmu. Kehidupan seseorang yang selama tujuh belas tahun ini selalu berada di samping Mama."

Jongin menghela napas, menyerah. Bagaimanapun, dia sedang berhadapan dengan orang yang mengandung dan membesarkannya. Mama memang berhak untuk tahu setiap detik kehidupannya.

Jongin mulai menceritakan tentang apa yang terjadi. Tentang penyakit Sehun, tentang bagaimana dia menolak dioperasi, tentang persahabatan mereka. Tentang kenyataan bahwa dia baru sadar kalau dia sangat menyayangi Sehun. Juga tentang apa yang dikatakan Miss Jessica serta bagaimana guru itu masih percaya dia bisa meyakinkan Sehun.

"Ingin mati dan nggak tahu hidup untuk apa, apa bedanya?" tanya Jongin mengulang pertanyaan Miss Jessica. "Terus, kenapa Miss Jessica juga bilang kalau Mama adalah contoh manusia yang lebih berani menghadapi apa pun demi orang yang dia sayangi?"

Mama terdiam sejenak, lalu tersenyum.

"Saat papamu meninggal," mama Jongin mulai menjelaskan, "Mama sebenarnya ingin ikut mati bersamanya. Kepergian papamu seakan-akan membawa separuh jiwa Mama. Mama nggak sanggup hidup sendirian, bahkan ide ikut mati itu pun benar-benar hampir pasti dijalankan."

Jongin menelan ludah.

"Tapi, kenyataannya, Mama nggak melakukannya..." lanjut Mama, "karena ada kamu. Kamulah alasan Mama tetap berjuang untuk hidup. Saat itu, Mama ingin mati, sungguh. Tapi, kamu membuat hidup layak diperjuangkan. Walau Mama harus bekerja lagi, membanting tulang demi membiayaimu, membesarkanmu seorang diri, Mama rela melakukannya demi kamu. Mungkin, itulah bedanya antara ingin mati dan tak tahu hidup untuk apa."

"Kalau aku nggak ada, mungkin Mama memilih ikut mati bersama Papa?" tanya Jongin.

"Mungkin," jawab Mama sambil tersenyum, "hidup terlalu keras untuk dilalui seorang diri."

"Walaupun hidup sangat keras, Mama tetap berjuang demi aku," Jongin bergumam. "Manusia memang lebih berani menghadapi apa pun demi orang yang disayanginya."

Jongin menggenggam tangan mamanya, menunjukkan bagaimana dia sangat berterima kasih atas semua yang perempuan itu lakukan untuknya.

"Sehun juga manusia," kata mama lembut. "Kalau dia berhasil menemukan apa yang patut diperjuangkan dalam hidup, Mama yakin dia akan mau menjalani operasi itu."

"Tapi, apa?" tanya Jongin putus asa.

"Bukan 'apa', tapi 'siapa'," ralat sang Mama.

Jongin mengangkat alis, tak mengerti maksudnya.

"Kamu, Jongin," jelas sang Mama. "Kamu yang harus jadi alasan Sehun untuk hidup."

"Sejak kali pertama Mama melihat Sehun," lanjut Mama. "Sorot matanya, bukan sorot mata orang yang ingin mati. Sorot matanya adalah sorot pejuang, dia hanya belum menemukan alasan perjuangannya. Tugasmu adalah menyadarkannya. Miss Jessica pasti juga berpikir seperti itu."

(KAISTAL REMAKE) LET GOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang