LIMA

510 109 8
                                    

sinar matahari merambat dari jendela, pelan-pelan kelopak mata itu terbuka dan memperlihatkan bola mata biru terang menyesuaikan cahaya matahari yang masuk, rambut pirangnya sedikit berantakan, ia berdiri kemudian meregangkan sedikit otot-ototnya, melirik jam dan mengedarkan pandangan. lurus dari tempat duduknya, pintu coklat yang mengarah keluar, kira-kira dua langkah disebelah kirinya ada pintu dari kaca buram. ia berjalan pelan menuju pintu tersebut, menggeser pintunya kemudian tidak lama terdengar senandung kecil serta gemericik air.

"Tuan muda, Anda mau kemana pagi-pagi begini?"

Arma, langkahnya yang hendak keluar terhenti, menoleh sebentar kemudian membalas dengan singkat

"keluar, jalan-jalan."

"baiklah kalau begitu, mohon hati-hati di jalan Tuan Muda"

Arma tidak menjawab, mengambil sepatunya dan menutup pintu, meninggalkan pelayannya yang membungkuk dalam memberikan penghormatan.

Ia mengeratkan jaketnya, dan memasang headphone. Moodnya sedang baik untuk jalan-jalan pagi, terlebih ia mengingat kemarin adalah hari pertamanya dan bertemu dengan seseorang yang sangat menarik,

'mungkin aku bakal tertarik dengannya'

Arma terus berlari-lari kecil hingga matahari makin terik, dilepasnya headphone miliknya dan melirik jam

08.45

"sudah jam segini? pantas aku lapar"

ketika kakinya melangkah untuk kembali pulang, cengiran miringnya muncul diwajahnya, tidak jauh dari tempatnya berdiri, kira-kira 3 meter di depannya, diantara orang yang berlalu lalang, didalam sebuah kafe yang cukup sepi. terlihat dari kaca kafe tersebut, seorang gadis mengenakan kaos berwarna coklat tiga perempat duduk tenang sembari membaca buku, rambut coklatnya diikat rapi kebelakang, surainya dibiarkan menggantung manis diwajahnya, keliahatannya ia agak terganggu dengan itu, berkali-kali ditiupnya poninya, menghalangi pandangan rupanya. Arma kembali memperhatikan gadis tersebut, dilihatnya sesekali gadis itu tersenyum dan mengerutkan dahi karena buku yang dibacanya, pipinya sedikit memerah karena dingin, Arma tertawa pelan, ia gemas sekali melihat pemandangan itu, cepat-cepat dibawanya kakinya melangkah menuju gadis tersebut.

"Hei, sedang apa?"

pertanyaan retoris, ia sudah tau apa yang dilakukan gadis itu,

yang dipanggil mendongak kemudian membelalakkan mata, kelihatannya ia salah tingkah kemudian cepat-cepat membenarkan poninya

"Ah- Arma, tidak, hanya... membaca buku.."

"begitukah? boleh aku duduk disini? Terra.."

"t-tentu, tidak masalah, duduklah"

Arma senang sekali melihat salah tingkah dari gadis yang duduk di depannya, 'menarik' pikirnya

"Sedang apa disini Arma?"

Terra mencoba memecah keheningan terlebih dahulu, lagipula ia mulai merasa risih dengan tatapan Arma, ia takut tidak bisa mengontrol panas yang mulai merambat kewajahnya.

"hmm.. aku jalan-jalan sebentar, dari jauh aku melihatmu, lalu--"

kata-katanya sengaja terputus, dipandang lurus gadis didepannya, tangannya terulur dan membenarkan poni milik Terra kebalik telinga

"--aku datang padamu.."

ia tersenyum miring setelah melanjutkan kalimatnya, terkekeh pelan kemudian karena melihat reaksi Terra yang menurut Arma benar-benar lucu, wajah Terra sudah amat merah sekarang, dan bibirnya membuka menutup layaknya ikan koi seolah ingin mengatakan sesuatu namun tidak sanggup,

"Hei-hei, santai saja Terra, tidak usah melotot begitu, matamu bakal keluar nanti"

Arma terkikik geli kemudian memanggil pelayan,

"saya bayar yang gadis ini beli"

"A-Arma, tidak usah, astaga-"

"Sudah terlanjur, maafkan saya Yang Mulia Ratu"

kemudian setelah membungkukkan badan seolah seorang pelayan, Arma kembali tersenyum miring dan melambaikan tangan,

"kalau begitu, aku pergi dulu, senang bertemu denganmu disini"

"Ah-ya, terimakasih banyak"

tidak lama setelah kepergian Arma, Terra masih mematung di tempatnya mencerna segala hal yang baru saja terjadi, seketika juga wajahnya memerah, pipinya menggembung, kemudian mengusap poninya

"apa-apaan yang tadi itu..."

***

Terra berjalan pelan menuju rumahnya, pikirannya masih menerawang dengan kejadian beberapa saat lalu,

"-aku datang padamu"

sekejap pipinya menjadi panas kembali, kata-kata Arma berputar dalam kepalanya, rasa-rasanya ia ingin berlari dan berteriak bahagia ditengah lapangan, jantungnya sudah berlomba-lomba tak tentu irama dari tadi, ia tetap bersenandung kecil dan melompat lompat, bahkan ia tidak sadar sudah menyapa tetangga menyebalkannya dengan nada riang,

"selamat sore sir Caelum! senja yang indah!"

Caelum hampir tersedak ketika Terra menyapanya dengan nama panggilan, belum lagi gadis itu berbicara seolah-olah tak pernah takut padanya, Caelum mengangkat alis, sedikit heran dengan pemandangan yang ia lihat. Terra, dengan pipi yang sedikit merah, serta senyuman yang menempel manis di wajahnya, rambutnya diterpa sinar senja kemerahan dan poninya sedikit bergoyang tertiup angin. Caelum hanya diam mengamati, sampai gadis itu membuka pintu apartemennya dan masuk setelah sedikit menundukkan kepala pada Caelum.

"Bocah, apa yang membuatmu sebahagia itu hm?"

Caelum bergumam pelan pada dirinya sendiri, membuka bungkus rokok dan menyulutnya. kemudian kembali menikmati langit senja yang sempat teralih dari perhatiannya tadi.

.

.

.

"Kau tahu apa yang lebih indah dari langit senja? Bola matamu yang bersinar tiap kali tersenyum"

Puella here!
gimana-gimana? hehe, maaf kalo plot ceritanya loncat-loncat, semoga masih bisa dinikmati dan bikin penasaran, jangan lupa vote serta komennya, selalu d tunggu untuk perkembangan cerita yang lebih baik. terimakasih ^^

Bumi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang