TUJUH

406 84 4
                                    

Terra berlari secepat yang ia bisa, melompat keluar dari gerbong kereta, lalu menerobos kerumunan yang memadati stasiun. kakinya melangkah lebar-lebar, melompati tiga-empat ubin sekaligus, menimbulkan gaduh tiap menapak lantai.

ia sudah berangkat pagi-pagi sekali, sayang waktunya termakan kelewat banyak dijalan tadi, baru 2 blok jauhnya dari rumah, gadis itu melihat bos mini marketnya terjatuh duduk dijalan, beberapa buah apel dan jeruk menggelinding, bertebaran begitu saja. melihat itu, mana bisa ia diam saja. jadi, ia membantu bosnya, mengantar hingga rumah, kebetulan sakit pinggang pria paruh baya itu sedang kambuh. Terra menghabiskan sekitar 15 menit kemudian, lalu menyadari tidak mungkin sampai sekolah tepat waktu tanpa berlari mengejar kereta terakhir. jadilah ia sekarang berlari-lari menerobos lalu-lalang manusia, dan sampai tepat di depan gerbang ketika bel berbunyi.

Terra melangkah masuk dengan penampilan yang luar biasa, rambutnya tergerai berantakan begitu saja, karet rambutnya putus dikereta tadi. peluh menetes deras dari keningnya, punggung baju seragamnya juga tercetak jelas bekas keringat karena berlari dari stasiun, dasinya sedikit tidak rapi dan nafasnya terengah, namun tetap saja, Terra berjalan tak peduli menuju mejanya. 'yang penting masuk' pikirnya.

ia merebahkan diri di kursi, mengatur nafas dan melempar tas sembarangan disisi meja, dagunya ditopangkan pada tangan, jemari miliknya yang bebas menyisir poni yang lengket kebalik telinga. sebelum kemudian ia mendengar tawa kecil dan teringat sesuatu. segera di tegakkan duduknya, kemudian menggigit bibir dengan mengumpat dalam hati, lambat-lambat menoleh dan memaksakan senyum, emeraldnya bersinar gugup, takut-takut penampilannya lebih buruk dari yang ia bayangkan.

"penampilanmu cukup luar biasa untuk seorang Lady"

Terra membasahi bibir, mencoba untuk tenang. Ia sama sekali lupa, ada seseorang yang membuatnya harus ekstra jaga image, dan kini ia harus memperlihatkan penampilan yang sama sekali tidak manis pada seseorang dihadapannya.

"uuh- ini..aku..mengejar kereta"

"hee.. kupikir kau tipe wanita yang rajin berangkat di pagi buta"

"yaah.. ada sedikit kendala"

setelah itu tidak ada jawaban dari Arma, anak itu hanya menggelengkan kepala dan tertawa, yang justru membuat Terra ingin menangis menyumpahi kebodohannya.

'setidaknya ia tertawa karna diriku'

ia mencoba berpikir positif, yang sebenarnya kurang berguna.

***
Terra menunduk lesu, bibirnya sedikit tertekuk kebawah, beberapa lembar kertas ia lambaikan dengan malas, dagunya menempel pada meja, sesekali menghela nafas panjang dan mengerang.

ujian praktik terakhir sebelum kelulusan, kelas enssemble. menyanyikan sebuah lagu dalam harmoni paduan suara. Sayangnya bukan kemampuannya di kelas ini, kemampuan membaca not balok miliknya sama parahnya dengan bocah 5 tahun yang belajar membaca; kacau.

Jadi ia cukup frustasi dengan ini, ia bermaksud konsentrasi dengan ujian masuk universitas seni, namun harus memperhatikan hal merepotkan yang sama sekali tidak ia kuasai, selama kelas tadi Terra hanya membuka tutup mulutnya tanpa bernyanyi, ia harus belajar membaca not segera sebelum ketahuan. lagi-lagi gadis itu menghela nafas tertekan. waktu pulang sudah berlalu sekitar dua puluh menit lalu, namun Terra masih betah tinggal. selain memutuskan berlatih sendiri, alasan lain tentu karena ia belum ingin bertemu muka dengan Caelum.

Gadis itu sibuk mengacak rambut dan berusaha bernyanyi meski terbata. ia duduk diatas meja,menghadap jendela, salah satu kakinya ditumpangkan pada yang lain, sebelah tangannya yang bebas memegang kertas menopang berat badannya di belakang punggung. alisnya berkerut, berusaha keras menyanyi dan mengingat nada dari kelas tadi.

Bumi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang