ENAM

480 97 6
                                    

Terra bersenandung riang, kejadian tadi siang bersama Arma benar-benar membuatnya bersemangat, ia menggeser pintu balkon dan memandangi kota dari sana, sedetik kemudian terbersit sesuatu di kepalanya, ia berlari kecil kembali ke dalam rumah, sedikit terantuk meja dan belok kiri menuju kamarnya, diambilnya kanvas dan beberapa peralatan menggambar, kemudian tergesa-gesa kembali menuju balkon, sedang tidak sabar ia melukis dikala moodnya sedang amat baik.

Melukis sudah menjadi kehidupannya, apapun yang gadis itu rasakan bakal tertuang di dalam kanvasnya, setelah kejadian dua tahun lalu ia sempat tidak menyentuh alat gambar sama sekali, namun seiring berjalan waktu lambat laun ia mulai menggambar lagi, kadang-kadang ia berpikir untuk melanjutkan studinya di bidang seni, lagipula ia tidak punya keahlian selain itu.

Terra melukis dengan wajah sumringah, goresan tipis pensil menghiasi kanvas yang awalnya putih bersih, kemudian dikeluarkan cat minyak miliknya, hijau, oranye, kuning, merah, abu-abu. Banyak warna dalam lukisannnya, namun sejujurnya ia hanya suka satu spesifikasi warna; hijau. Seperti matanya, jadi tanpa sadar ia menambahkan banyak campuran hijau dalam lukisannya, meskipun ia melukis senja, tetap saja, dominan hijau berbagai versi terlihat disana.

Langit menjelang malam ketika ia menyelesaikan lukisannya, mukanya sudah cemoreng dimana-mana, keringat juga sudah membasahi keningnya, rambutnya sedikit berantakan dan poninya lengket karena peluh, sepertinya ia kelewat semangat kali ini.

Terra menyeka keringat dengan lengannya dan membenarkan ikat rambutnya, ia memandangi puas hasil karyanya,

"kau sedang berusaha membuat langit menjadi lumut atau apa, bocah?"

Terra di kagetkan dengan suara bariton yang tiba-tiba ia dengar, ia cepat-cepat menoleh, dan menelan ludah, dilihatnya Caelum memandangi lukisannya dengan melipat tangan di depan dada, kali ini pria itu tidak sedang merokok. Terra benar-benar lupa kalau jarak balkon miliknya dengan tetangganya tidak sampai dua meter.

mukanya memerah, gadis itu berusaha membela diri, ia menggembungkan pipinya dan membalas pertanyaan Caelum

"ti-tidak sir! memang saya membuatnya seperti ini"

"lalu kau bangga dengan lukisan hijau itu? matamu butuh perbaikan hm?"

Terra menyerngitkan alis, ia tidak bisa terima seseorang yang tidak tahu apa-apa mengomentari lukisannya,

"sir, sa-saya melukis karena suka!"

"lalu aku peduli? bocah, jika eksistensi gambarmu ingin diakui, cari objek lebih baik. tempat sampah dirumahku lebih menarik ketimbang lukisanmu"

Terra benar-benar kehabisan kesabaran kali ini, ia tidak habis pikir, tetangga macam apa yang seenak jidat mengomentari lukisannya, membandingkan dengan tempat sampah, dan bahkan seluruh kata-katanya mengandung sarkasme. Gadis itu ingin membalas tapi tidak punya cukup kata-kata pedas yang pantas dilontarkan, jadi dia hanya menggerutu, mengambil kuasnya dan dengan emosi yang sangat melemparkan benda panjang itu, yang sayangnya telak mengenai dahi pria di depannya,

"HEI! bocah tolol!, bokongmu minta ditampar hah! Shit! kunyuk kecil, kecoa dungu!"

Sayangnya Terra sudah menutup telinga untuk segala umpatan yang dikeluarkan Caelum, sejujurnya ingin sekali ia menjejalkan isi tong sampah pada mulut tetangganya, pria itu mulutnya benar-benar tidak lulus sensor sama sekali, bahkan setelah Terra masuk kerumah, gadis itu masih dapat mendengar umpatan Caelum, yang kadang kata-katanya tidak senonoh sama sekali untuk didengar.

"Bodo amat, orang tua bau kencur!"

Terra sebal sekali, moodnya benar-benar jatuh sekarang, bahkan ia terus menggerutu selama membersihkan diri, ia berendam untuk menenangkan pikirannya, dan berharap esok pagi tidak akan bertemu tetangganya, membayangkan mukanya saja ia sudah muak, apalagi bertemu. ia harus berangkat pagi-pagi, pikirannya terdoktrin dengan kekesalan pada Caelum, tanpa ia sadari tadi tetangganya yang limit kata bersedia repot-repot mengomentari lukisannya, bahkan sempat beradu mulut meski dibalas manis dengan ciuman kuas di dahinya.

***

disisi lain, Caelum sama sebalnya dengan Terra, ia tidak menyangka juga gadis itu dengan berani melemparkan kuas miliknya, ia terlalu terkejut hingga terlambat menghindar. pria itu menggosok-gosok dahinya, memang tidak terlalu sakit, tapi tetap saja, harga dirinya sebagai pria serasa dicoreng. Caelum menggenggam kuas itu erat-erat, sebenarnya ia akui lukisan milik Terra indah, ada ciri khas di sana, terlebih wajah gadis itu yang memandang lurus pada kanvas, seolah-olah dunianya terpusat disana, Caelum jadi tergerak untuk berkomentar, ia juga tidak pernah menyangka akan mengeluarkan kata-kata sepedas itu, salahkan kebiasaan mulutnya yang tidak punya aturan. ia menghela nafas kecil, kemudian menuju dapur. di saat seperti ini moodnya akan kembali bila melakukan satu hal; bersih-bersih.

jangan lupakan pria ebony ini gila kebersihan, apartemennya tidak terlalu besar namun teramat bersih disetiap sudutnya, perabotnya minimalis, khas orang bujang, tidak terlalu banyak warna di sana, hanya putih dan abu-abu, lantai kayunya mengkilap, jendela jangan ditanya, setiap hari ia bersihkan dengan penuh cinta.

Jadi Caelum beralih menuju tempat cuci piring, dan bersemangat membersihkan alat makan kotor disana. ia selalu puas dengan hasil bersih-bersihnya, kemudian menuju almari kecil diatas rak piring, mengambil cangkir dan sekotak teh, dan beberapa saat sibuk membuat teh hitam.

ia duduk menumpangkan kaki di sofa, menyeruput sedikit tehnya dan menyulut sebatang rokok menthol, pria itu sudah tenang sekarang, namun tetap saja masih ada sedikit rasa kesal dihatinya. bukan- bukan ia pendendam, namun ia hanya sebal, baru kali ini ada yang berani melakukan itu padanya, Caelum menyisir rambutnya kebelakang dengan jemari dan menumpangkan kepalanya pada leher kursi, namun teringat sesuatu dan tidak lama bergegas beranjak kembali kekamar. besok ia harus berangkat pagi-pagi, dan apapun itu ia tidak akan bahagia bila bertemu gadis tetangganya esok pagi.

***

sayangnya takdir tidak sedang ingin mengabulkan keinginan mereka berdua, pagi ini mereka harus sama-sama memendam muka masam ketika bertemu di pagi hari karena keluar dengan bersamaan,

'orang tua bau kencur'

'bocah kecoa'

keduanya sama-sama memandang dalam diam, dan saling berusaha menahan umpatan, kekesalan terlihat jelas di wajah Terra, berbeda dengan Caelum, lebih mudah baginya menyembunyikan ekspresi, mukanya masih datar-datar saja seperti biasa.

dengan senyum yang teramat dipaksa Terra mencoba menyapa tetangganya, 'untuk sopan santun' pikirnya,

"selamat pagi sir"

Caelum tetap memasang muka datar, hampir saja memutar bola matanya, kemudian menjawab dengan singkat, bahkan Terra tidak tahu apakah itu pantas disebut sebuah jawaban selamat pagi,

"hm"

kemudian pria itu berlalu begitu saja, meninggalkan Terra yang melotot memandangi punggung pria yang semakin menjauh, ingin rasanya menendang punggung Caelum detik itu juga. gadis bersurai coklat tersebut menarik nafas dalam berusaha mengatur emosinya.

"orang tua bau kencur!, pergi saja yang jauh sekalian!"

Terra berbicara pada dirinya sendiri, sedikit menendang pintu apartemen milik tetangganya dan berlari kecil menuju sekolah.

.

.

.

.
Puella here!
entah kenapa pengen bikin konflik antara Terra dan tetangga kesukaan saya *hohoho
memang disini Caelum tipe yg mulutnya nggk bisa diajak kompromi, mohon maaf buat yang nggk nyaman karena ini. vote dan komennya ditunggu, terimakasih^^

Bumi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang