DUA PULUH SATU

119 19 4
                                    

Oke. dia jatuh cinta pada Caelum. Lantas apa? Mau ia akui? Bunuh diri namanya, alasan satu jelas ia gengsi, lagian hampir tidak mungkin Caelum punya rasa yang sama dengannya, mau berharap apa dia?. Kedua, bisa-bisa dia dipacung Caelum kalau pria kelabu itu tahu Terra menyimpan perasaan padanya, dulu sekali Caelum sudah pernah bilang padanya, jangan jatuh cinta.

Dulu ia mencibir mendengar kata-kata itu, sekarang ia harap Caelum tidak pernah mengatakannya. Karena menyakitkan sekali, menyadari setiap harinya semakin ingin ia buang perasaan itu,semakin dia coba untuk tak peduli, untuk meyakinkan bahwa perasaannya hanya sesaat semata, kalau ia ingin mengacuhkan Caelum dengan cara mengingat-ingat perasaan bersalahnya pada Arma.

Tapi tidak bisa ia lakukan, semakin dia berusaha lupa, makin dia jatuh cinta pada Caelum. Semakin ia berusaha menjauh, semakin ia merasa sepi dan sakit. Complicated, dan dia butuh teman bicara, setidaknya supaya hatinya sedikit longgar.

Jadi, Terra menelepon Scarlett—karena jelas tidak ada opsi lain— mengajaknya bertemu, tidak di flat, karena kebetulan Caelum belum berangkat, dan dia tidak mau memperburuk hubungan yang makin hari makin renggang, tentu saja hanya pada satu sisi. Karena jelas-jelas Caelum lah yang terang-terangan menjaga jarak dengannya. Terra menghela nafas perlahan, menyapa Caelum yang sedang minum teh dengan khidmat, berusaha terdengar seriang mungkin untuk berpamitan, dan ketika tidak ada balasan apapun, dan saat akhirnya ia keluar dari terotori Caelum, menutup pintu apartemen perlahan, barulah rasanya dadanya bergetar. Menerawang sebentar untuk menguatkan hati, kemudian ia berlalu, secepatnya butuh teman bicara.

“Kau mau?” Scarlett menyodorkan roti yang sempat ia beli ditengah jalan tadi, Terra hanya menggeleng pelan. ini masuk musim dingin, jari-jarinya serasa beku, dan ia masukkan dalam-dalam ke saku jaketnya. Mereka duduk dalam diam beberapa saat di taman yang jaraknya hampir tiga blok jauhnya dari apartemen. Terra tetap diam, dan Scarlett menunggu, ia tidak memaksa Terra untuk segera cerita, karena dia tahu, gadis bersurai cokelat itu sedang mengatur kata-kata dalam otaknya, memilah-milah mana duluan yang bakal ia luapkan.

Hingga akhirnya Scarlett menghela nafas, melihat mimik wajah Terra yang tertekuk mengkerut, “Katakan saja, apapun itu, tidak usah merasa bingung harus mulai dari mana,” katanya kemudian.

Terra sedikit terlonjak ,kemudian tersenyum kecut,
“Rasanya membingungkan, sungguh. Kau tahu? Disisi lain aku merasa sangat bersalah pada Arma, dan memang aku salah. Tapi kalau aku sedang di rumah, kemudian aku melihat Sir Caelum, entah kenapa rasa bersalah itu seperti tertutupi oleh hal lain. Semacam… entahlah, rasa sakit lain. Dan dia terang-terangan menjahuiku sekarang. Dia tidak marah-marah seperti dulu, hanya— melakukan sesuatu yang lebih buruk dari itu….

…aku tidak bisa begitu terus-menerus.”

Terra menutup mata sejenak, ingin menangis, tapi ia tahan sekuat tenaga, rahangnya ia kuatkan supaya air matanya tidak tumpah. Scarlett memandanginya sebentar,

“Kau jatuh cinta padanya ‘kan?”
Terra tersenyum lemah, mengangguk kecil

“what do you think? Apa aku kelihatan seperti player? Atau apapun sejenis itu? Aku baru putus dengan Arma, dan aku justru segera jatuh cinta dengan orang lain. Tidakkah aku keterlaluan? Mempermainkan perasaan orang?”

Scarlett duduk mendekat, mengusap-usap punggung Terra dengan ringan dan lembut, kemudian mencubit pelan pipi gadis emerald itu.

“Kamu memang lemot, persis seperti kata Caelum. Tidakkah kau pernah sadar? Kau sudah lebih dulu jatuh cinta pada pria tembok itu ketimbang dengan Arma. Kalau kau mau tahu, rasamu untuk dua orang itu terlihat sama tapi berbeda. Harusnya kau sudah sadar sejak dulu. Ah- tapi bukan salahmu juga, kalau Caelum bisa sedikit saja melembut kurasa kamubakal segera tahu. Nyaman dan cinta itu beda-beda sama Terra. tapi, The way you like and Love someone are totally different.”

Bumi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang