DUA PULUH

183 19 4
                                    


Paginya Terra mengeluh, badannya sakit semua. Salahkan dia yang bersikeras jaga image pura-pura ketiduran dan tetap pada posisi berbaring di sofa, jadilah seluruh tubuhnya terasa kaku digerakkan. Terra beranjak, bebersih badan sebentar, kemudian melaksanakan tugas paginya. Pertama, membuka tirai dan kaca balkon, lalu merajang air panas dalam ketel. Setelah itu beranjak mengelap jendela dan beberapa perabot yang butuh dibersihkan, seluruhnya harus bersih dari embun atau debu, atau Caelum bakal uring-uringan seharian. Lalu, kalau suara ketel sudah berbunyi nyaring ia bakal cepat-cepat menuangkan air panas ke dalam cangkir Caelum, yang berisi teh hitam tentu saja, kemudian menyiapkan sarapan, entah sejak kapan tugas berbelanja dan memasak ia yang ambil alih. Dan tugas paginya belum selesai disana, Terra juga bakal berkacak pinggang di depan pintu kamar Caelum, mengetuk kamarnya—kadang juga menggedor— dan berteriak dari luar menyuruh Caelum keluar untuk sarapan. Kadang-kadang gadis itu berpikir, dia sudah seperti istri saja kalau terus-terusan begini, dan setelah itu ia bakal menggeleng-gelengkan kepala keras-keras untuk menghilangkan rona merah yang datang begitu saja. Salahkan khayalan ngawurnya.

Lalu seperti biasa, Caelum dan Terra bakal menyantap sarapan dalam diam, karena sarapan sebelum-sebelumnya kecerewetan Terra dibalas delikan kasar dan umpatan oleh Caelum—dan garpu yang hampir melayang— jadi, setelah itu Terra membiarkan suasana sarapan yang tenang buat Caelum. Setelah itu, kalau ada kelas biasanya Terra menumpang pada Caelum, dan minta turun paksa sekitar lima puluh meter dari gerbang kampus, masa bodoh dia harus berjalan, ketimbang dapat olok-olokan seharian dari Scarlet. Kalau tidak, Caelum bakal keluar duluan entah mengurus apa. Kalau sudah begitu, Terra bakal bosan seharian di rumah. Bisa saja ia menemui Arma, tapi seringkali dia merasa malas keluar, serius dia hanya malas saja. Dan begitu, terus berputar kesehariannya, sesekali juga tes laboratorium yang seringnya tidak membuahkan hasil signifikan, membuat Caelum makin mengerikan wajahnya. Tapi diluar itu tidak ada kejadian genting dan membahayakan, segalanya aman, damai, dan terkendali, kecuali sekali. Kapan? Sekarang contohya,

keringat dingin sudah mengalir besar-besar dari pelipisnya, dan Terra sudah meneguk ludah berkali-kali, mengisi kerongkongannya yang terasa kelewat kering. Ia merasa gugup, koreksi— SANGAT gugup, ditambah rasanya kepalanya benar-benar pening. Bagaimana tidak, saat ini, di tempat yang amat sangat tidak tepat, dua orang lelaki dalam hidupnya yang paling tak ingin ia pertemukan, saling tatap menatap dengan tajam—lagi— Oh, dan kau tahu di mana itu? Coba tebak?

Apartemen Terra dan Caelum.

Ceritanya? Bagaimana bisa? Well, sore itu cerah sekali, Arma menghubungi Terra mendadak, ingin mengajaknya kencan tentu saja, Terra sejujurnya sedikit malas, tapi dia iyakan saja. Lama setelah itu, entah Arma yang kelewat peka, atau memang Terra saja yang sudah kelewatan cuek. Ralat, memang gadis itu sedikit banyak berubah akhir-akhir ini, kau tahu 'siapa' yang jadi alasannya. Kemudian sedikit pertengkaran kecil. Saling menyangkal, dan akhirnya Terra merasa sungkan—entah perasaan itu yang keluar— dan ketika Arma meminta, atau lebih tepatnya memaksa, akhirnya Terra ijinkan juga laki-laki itu mampir ke flat yang ia tinggali. Sambil mengingat-ingat kalau Caelum sedang keluar, dan biasanya tidak akan kembali sebelum petang, dan tetap berdoa banyak-banyak sepanjang jalan. Takut-takut tiba-tiba saja pria kelabu itu muncul begitu saja di sana.

Dan, yahh... sayangnya keberuntungannya memang harus dipertanyakan. Sambil membuka kenop pintu dan harapan yang makin tipis, disanalah ia, pria yang bagai momok kelihatannya, bersendekap, membaca dokumen. Iris kelabunya melirik Terra yang terkesiap, membeku di tempat, sedetik kemudian pupil itu sedikit melebar, melihat siapa yang ada di balik bahu Terra, sama terkejutnya. Dan begitulah, atmosfer yang sama sekali tak enak, rasanya Terra ingin lompat saja ke jurang, bahkan ia baru bisa menjawab pertanyaan Arma setelah laki-laki pirang itu menyentaknya keras, tentu saja nada suaranya bergetar, entah gugup entah takut,

Bumi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang