DUA PULUH DUA

212 22 4
                                    

Caelum terbangun. Mengerjap sebentar sebelum tersadar dengan posisinya sekarang. Apa dia semalaman menggenggam tangan bocah yang tertidur disampingnya ini? Oke, dia akui ia melakukannya setengah sadar dan tidak, seolah jemarinya bergerak dengan sendirinya. Dan anehnya ia tak kunjung melepas genggamannya.

Caelum mengeratkan rahang sebentar, berniat bangun. Kemudian terkagetkan oleh sebuah penampakan wajah tanpa bersalah, menunjukkan cengirannya yang tiba-tiba muncul dari balik sofanya,

“Fuck! Englbehrt!” umpatnya, dia asli kaget melihat rekannya itu. Lagian beraninya dia masuk tanpa ijin dari pemilik rumah. Tunggu, kalau dia bisa masuk berarti tadi malam Caelum atau Terra tidak mengunci pintu. ‘Bagus, untung saja yang masuk anjing jerman idiot ini, bukan maling atau yang lebih parah pembunuh bayaran’ pikirnya,

“Hai teman tersayangku. Kurasa keadaanmu jauh lebih baik dari kemarin hm?”

Caelum berdecak sebal, ia hampir membuang muka

“Hm.”

“Aih, dingin sekali kau ini. Lukamu tidak apa-apa kan? Kalau kau sudah bisa berfikir jernih ada baiknya kita bicara sebentar, lebih baik diluar—itupun kalau kau sudah puas bergandengan tangan dengannya,”

kata Englberht kemudian, sambil melirik jemari Caelum yang masih menggenggam jemari Terra erat. Caelum cepat-cepat melepaskan gandengannya, sedikit salah tingkah—yang bukan tipikalnya sama sekali— lalu berdeham, sedang Englberht hanya cekikian sambil berlalu keluar.

Caelum beranjak, meregangkan sedikit otot-ototnya yang agak kaku, lalu memeriksa pergelangan kakinya yang terkilir, sebenarnya kalau dirasa-rasa sekarang sakitnya benar-benar bisa ia tahan, tapi kemarin rasanya jauh lebih menyakitkan entah kenapa.

Ia melirik Terra sekilas, gadis itu masih saja terlelap. Caelum membiarkannya, ia pergi untuk berganti baju, tapi kemudian berdecak kesal dan memutar kembali tubuhnya. Ia mendekati Terra, kemudian dengan gampangnya mengangkat tubuh gadis itu, benar-benar ringan dan mudah buatnya, meskipun kakinya sedang terkilir. Ia menggendong Terra hingga kamarnya, meletakkannya hati-hati dikasur lalu menyelimutinya. Caelum hampir melakukan hal gila sekali lagi, tapi ditahannya kuat-kuat.

Bagaimanapun, dia harus segera membuang apapun itu yang ia rasakan. Atau dia bakal menyusahkan dirinya sendiri, dan Terra. Jadi, ia cepat-cepat keluar dari kamar itu, dan pergi menuju kamarnya sendiri, berganti baju dengan kilat, bebersih diri sebentar, lalu keluar menyusul Englberht yang sudah menunggunya.

“Kau mau satu?” Englberht menawarkan sebatang rokok pada Caelum, kini mereka sudah berganti tempat, duduk di sebuah bangku taman tak jauh dari flat.
Caelum menolak, “Aku punya sendiri,” katanya kemudian, lalu mengambil bungkus rokoknya sendiri. Rokok menthol tentu saja. Ia menyulut satu, kemudian merasakan asapnya dalam-dalam di seluruh rongga paru-parunya, ia tak peduli, tidak pernah peduli tentu saja.
Keheningan lama diantara mereka, sampai Englberht membuka pembicaraan,

“Jadi, kelihatannya kau kemarin tidak berlaku seperti biasa  eh?”

Caelum hanya bergumam, tak menanggapi, percuma saja. Ia tahu Englberht sudah mengenalnya sejauh apa, jadi sudah pasti ia membahas ini untuk memastikan saja, meski sebenarnya itu tidak perlu, sungguh. Karena kadang Englberht lebih tahu dirinya lebih dari Caelum memahami dirinya sendiri.

“Jujur saja Caelum, apa informasi kemarin membuatmu kalut? Biasanya kamu tidak pernah lepas kontrol begitu, kecuali yah, sekali itu waktu ibu tirimu, ehm.. pokoknya kejadian ini baru yang kedua kalinya, apa aku salah?”

Caelum diam, tak menyahut, ia mengingat ingat kembali percakapannya bersama Englberht sebelum pada akhirnya dia melaksanakan tugas dengan pikiran yang lumayan kacau.
.
.
.
.
.
-FLASHBACK-

Bumi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang