DUA PULUH EMPAT

136 13 8
                                    

Terra tak henti-hentinya mencuri pandang seraya tersenyum kecil. Bagaimana tidak? Sebab pria kesukaannya sekarang sedang menggenggam jemarinya, menjaganya tetap hangat didalam saku mantel kelabunya. Siapa sangka Caelum bisa segitu pengertiannya.

“Jangan kebanyakan nyengir, wajahmu jelek.”

Terra merengut, kepergok Caelum selalu menyebalkan, tapi dia diam saja, tak ada gunanya menyangkal, toh nanti dia tetap kalah omong.

“Ada tempat yang mau kau kunjungi lagi? Mumpung masih di luar. Kamu belum lapar ‘kan?” tanya Caelum kemudian. Terra berpikir-pikir sebentar, sedari pagi tadi dia sudah bersama pria ebony itu, dari sarapan, bahkan menemani Terra ke taman ria tanpa banyak protes, Caelum hanya mengikuti dan mengiyakan keinginan Terra, jelas hal itu langka sekali.

Tapi, Terra merasa ada yang kurang. Dia tak suka Caelum terus-terusan tanya ini itu padanya, mau makan apa, ke mana dan lain sebagainya. Terra maklum kalau-kalau memang Caelum tak paham cara kencan yang benar, dan ia juga tahu pria itu sedang berusaha sekuat tenaga, menahan bosan waktu menemani Terra naik kincir angin, atau terpaksa ikut makan es krim meski tahu dia benci makanan manis. Hal-hal yang begitu bikin Terra makin luluh.

Maka, akhirnya ia memutuskan, di penghujung kencan, setidaknya mereka harus ke tempat yang Caelum mau. Sekalian hadiah kecil, membuat pria itu tidak stress terus-terusan mengikuti hormon remaja Terra.

“Kurasa ada baiknya justru aku yang bertanya. Ada tempat yang ingin kau kunjungi? Aku sudah puas kemana-mana denganmu hari ini, apalagi yang kurang, ehehehe..” Ujar Terra, Caelum melirik sekilas, hampir tersenyum, tapi tidak jadi, ia jaim kalau kau mau tahu.

“Baiklah, mengingat aku cukup capek mengurusmu, mungkin duduk saja di taman. Kau keberatan?”

Terra menggeleng dengan semangat, menghabiskan senja bersama Caelum di taman bukanlah ide buruk, dan dia akan sangat senang dengan itu. Terra meringis lebar-lebar ke arah Caelum, dibalas dengusan kecil dan genggaman jemari yang mengerat.

Mereka berjalan pelan-pelan, menikmati setiap detik dan menit sebanyak yang mereka bisa. Caelum dan Terra duduk di sebuah bangku taman, membagi hangat lewat bahu yang saling berhimpitan. Terra mengamati Caelum yang kakinya sedikit bergerak gelisah, sedetik kemudian gadis itu terkikik, ia paham

“Mau merokok? Kenapa tidak bilang” katanya sambil menahan tawa. Sebab, Caelum lucu sekali, pria itu benar-benar luar biasa usahanya kali ini. Padahal, Terra tidak apa-apa kalau memang Caelum mau merokok barang satu-dua batang. Bukannya menahan dari pagi sampai sekarang.

Caelum melirik, sedikit ragu, “Kutinggalkan semua di apartemen.” Terra menaikkan sebelah alis, kemudian berujar “Beli saja, aku tidak masalah. Daripada risih melihatmu tak tenang begitu. Lihat, di sana ada toko, belilah sebentar, kutunggu di sini.”  Terra mendorong pundak Caelum, dia juga tak mau melihat Caelum tidak enak begitu, toh hanya beli rokok, dia tak bakal kenapa-kenapa. Jadi, setelah sedikit dipaksa, Caelum mengalah dan pergi membeli rokok menthol favoritnya. Sayangnya waktu dia kembali, bayangan yang selama ini dia khawatirkan terjadi.

Terra tidak ada di tempat,

Menyisakan secarik surat yang bentuknya amat ia kenali.

Ahh,hampir de javu waktu dia selamatkan Terra dari sekapan Eddie dulu sekali. Tapi, sekarang berbeda. Caelum mengambil surat itu dengan sedikit bergetar, jantungnya terpompa kelewat cepat. surat itu punya ke-khas an. Amplopnya coklat tua,beraroma layaknya kayu mahoni, di pojok kanan bagian depan tercap stempel bergambar dua ular melilit dengan satu mahkota, sedang bagian belakang kosong kecuali segel surat bewarna merah dengan inisial dua huruf  kapital ‘RG’

Caelum merobek surat itu cepat-cepat, membaca sekilas. Tidak ada penjelasan apa-apa, hanya sebaris kalimat, berupa sebuah alamat. Dan Caelum tahu persis dimana,

Bumi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang