DUA BELAS

347 43 9
                                    


"So, how your trip?"

Seorang pria bermata hazel membuka percakapan setelah beberapa hari tidak melihat kawan lamanya.

"Nothing special. Lebih penting dari itu Englberht, tugasmu?"

"Aku sudah kepingin muntah di pojok ruangan. So borring, terlebih bagian wawancara."

Caelum menggumam ringan, tidak peduli. Kemudian Englberht berseru kecil, melupakan sesuatu.

"Well, tidak seburuk itu di bagian akhir. Ada anak yang cukup menarik perhatian."

Tidak ada jawaban dari pria ebony di sampingnya, jadi Englberht melanjutkan kalimatnya,

"Anak perempuan, dia berantakan. Tapi alur hidupnya menarik, terlebih dia tipe yang kelewat jujur. Plus dia punya mata hijau yang indah menurutku, meskipun jawaban dari pertanyaan yang kuberikan terlalu melankolis. Ia sejenis masokis bisa kubilang."

Caelum, agak tergelitik mendengar deskripsi yang diberikan, terutama bagian 'mata hijau yang indah', satu-satunya yang terlintas di benaknya hanya Terra. Caelum benci jika gadis itu benar-benar yang dimaksudkan Englberht.

"Rambutnya cokelat. Katanya tinggal dekat universitas, aku rasa sekitar apartemenmu, aku tidak tahu tepat alamatnya."

Caelum makin merasa tidak enak, berharap instingnya salah. Setidaknya sekali ini saja. Ia menarik nafas bersiap mendengarkan.

"Gadis itu punya nama klasik yang bagus, sama sepertimu. Terra, kalau tidak salah."

Bingo! Caelum tahu instingnya pasti berakurasi telak 99,9999%. Kemudian pria itu menyisir rambutnya kebelakang dengan jemari, menyulut sebatang rokok lagi, lalu mengurut keningnya. Kali ini harapan terakhirnya adalah semoga saja gadis tengil itu tidak pada satu prodi yang diajarnya. Jadi, Caelum bertanya dengan nada yang kelewat datar.

"Kau tau dia ambil program studi mana?"

"Diploma in Art and Design. Jurusan yang kau ajar bukan?"

Caelum menggeram teramat rendah dan pelan. Mengumpat berkali-kali dalam hati. Entah kesialan atau sebaliknya. Sekarang ia harus bergulat dengan kunyuk kecil tukang ikut campur hampir setiap hari dalam seminggu. Memikirkannya saja kepalanya sudah sakit, merasa menjadi lebih tua sepuluh tahun, dan sama sekali tidak memperdulikan ocehan Englberht. Ia sedang memasang mental. Jadi keesokan harinya, ketika Terra muncul dengan berantakan di depan pintu kelasnya, ia tidak akan menunjukan keterkejutan sama sekali, dan sudah bersiap dengan sebaris kalimat.
----------------------------------------

"Jangan hanya berdiri, cepat masuk bocah idiot."

Terra mengira ia sudah di neraka. Benar-benar mimpi buruk. Ia sudah masuk ke sarang iblis.

Terra duduk di barisan paling belakang, mengalihkan pandangan mengitari kelas, apapun asal tidak pada orang tua bau kencur yang berdiri arogan di tengah kelas. Tapi, mau tidak mau ia harus memperhatikan juga, bagaimanapun Caelum adalah dosennya.

Terra melirik setengah hati, bahkan gaya mengajar Caelum bisa dibilang tidak jauh dari kesehariannya. Arogan, tidak tahu malu, namun ketegasannya luar biasa. Caelum bahkan tidak mau repot-repot memperkenalkan diri atau bertanya nama dari mahasiswanya. 'Namaku ada di daftar dosen pengajar, tidak perlu perkenalan kurasa' katanya.

Terra mencibir pelan, ia bertopang dagu. Kembali memperhatikan dengan malas, kali ini soal penampilan. Benar-benar berbeda, meskipun Terra sudah pernah melihat Caelum mengenakan kemeja, tapi tetap saja rasanya aneh, terlalu rapi untuk pria kurang ajar seperti Caelum, plus apa-apaan dengan rambut hitamnya yang disisir kebelakang asal-asalan, dan kacamata yang sempat bertengger sesaat ketika ia membuka buku absen. Oke, Terra akui. Ini juga di luar ekspektasinya, ia rasa Caelum cukup menarik. Catat, menarik bukan berarti ia memuji Caelum adalah sosok tertampan di ruangan.

Bumi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang