TUJUH BELAS

224 21 8
                                    

Lama nggak update nih, happy reading  :)
-----------------------------------------------------

"Pergi orang mesum!!"

"Bocah, aku tidak sedang berusaha memperkosamu, berhenti membual dan keluar sekarang!"

"Aku tak ingin kemanapun Sir!"

Caelum menggeram, buang-buang tenaga meladeni berdebat omong kosong dengan Terra. Sebenarnya beberapa saat yang lalu Caelum menerangkan perihal tes laboratorium, dan entah kenapa Terra menolak mentah-mentah, kemudian lari menuju kamar mandi dan mengunci pintunya. Kenapa harus kamar mandi omong-omong? Well, kebetulan saja ruangan itu tempat yang terdekat untuk melarikan diri. Caelum menghela nafas, untuk kemudian berkata "keluar sekarang, atau kubuat kau keluar dengan paksa.", Terra berjengit mendengar kalimat Caelum, sesaat sibuk dengan pemikiran hal-hal apa saja yang bakal Caelum lakukan untuk memaksanya keluar, sayangnya kelamaan bergaul dengan pria kelabu itu membuat pikirannya jadi macam-macam, salahkan Caelum membuatnya berpikir setiap ancaman Caelum merupakan kemesuman. Ia terlalu sibuk berpikir hingga tanpa sadar pintu kamar mandi sudah terbuka, tentu saja Caelum mendobraknya dari luar. Terra menahan nafas, dilihatnya Caelum sudah berdiri menantang didepan pintu, mukanya datar, tapi Terra bisa merasakan pria itu sedang kesal terhadapnya. Meneguk ludah, dan melirik pintu kamar mandi yang sudah rusak engselnya, sepertinya Terra harus kalah –lagi-.

"Kau yang memaksa bocah sialan, pintu ini tidak murah, kau bertanggung jawab atas ini nanti. Sekarang, ikut aku, tidak ada penolakan."

Terra beringsut pelan, mengekor Caelum. Meski ia bebal, tapi adakalanya gadis itu tahu kapan harus diam dan mengalah sebelum semua bertambah buruk. Jadi disinilah ia duduk berdiam-diaman di dalam mobil hitam Caelum, menahan kantuk sepanjang perjalanan, dan sampai di sebuah tempat sepi di ujung London. Terra menggeliat, bokongnya serasa ngilu kelamaan menahan beban badan selama enam puluh menit. Caelum keluar dari mobil, kemudian segera menyeret Terra masuk, langkahnya cepat dan tidak sabaran.

Ini bukan kali pertama ia uji laboratotium, tapi tetap saja rasanya aneh dan tidak terbiasa ketika ia masuk. Rasa-rasanya tempat ini tidak pantas disebut laboratorium, lebih ke arah tempat pembuatan eksperimen mengerikan atau semacamnya. Bagaimana tidak, penerangan yang remang-remang dan lagi bangunan yang kelewat tua meskipun masih kokoh, sepertinya sengaja dibuat begini untuk menghindari kecurigaan. Terra sibuk melamun hingga Caelum menyentak bahunya, gadis brunette itu mengerjapkan mata sesaat kemudian menatap arah pandang Caelum, sebuah ruang kaca dengan peralatan yang Terra tidak pernah lihat bahkan bayangkan sebelumnya, ia sedikit begidik ngeri, tapi tetap saja melangkah kecil-kecil, masuk kedalam ruangan itu. Ketika ia menoleh sesaat kemudian Caelum sudah membalikkan badan dan melenggang pergi, sempat sedikit Terra merasa agaknya kesepian. Well, bukannya apa, tapi Caelum satu-satunya orang yang ia kenal, bagaimanapun pemeriksaan ini sedikit mengerikan, Terra butuh setidaknya ada kata-kata penenang dan meski ia mencoba berbicara dengan orang dewasa di tempat itu, tak akan ada yang menggubrisnya, entah kenapa seolah mereka memilih untuk diam ketimbang berurusan dengan Terra. Gadis itu mengehela nafas pendek, kemudian menutup matanya, bersiap untuk serangkaian pemeriksaan yang panjang dan tak pernah terasa enak buatnya.

***

Caelum merokok sembari menunggui Terra, lagi-lagi ia menikmati bagaimana nikotin membakar paru-parunya dengan nikmat. Dilihatnya dengan malas beberapa orang yang berlalu-lalang, sedikit menundukkan kepala setiap kali lewat di depannya, menunjukkan hormat. Caelum mendengus kasar, tidak berniat repot-repot membalas, dia bukan orang gila hormat, justru lebih ke arah muak sampai ingin muntah rasanya.

"Well, setidaknya jangan memelototi orang yang memberimu hormat, kawan."

Caelum tidak menggubris, membiarkan seseorang itu duduk berdampingan disebelahnya, ia tahu persis siapa yang berbicara, begitupula kau dan aku. Caelum memasang muka tidak peduli dan melanjutkan kegiatan senang-senangnya bercumbuan dengan rokok menthol favoritnya, setelah sebuah hisapan panjang, dan asap yang tebal mengudara, barulah ia membuka suara, bukan untuk menanggapi, namun menanyakan hal lain yang lebih penting

Bumi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang