Rafael memandang tubuh yang terbaring lemah dengan wajah pucat dan bibir kebiruan. Alice memang terlihat rapuh lemah dan tak berdaya, dan mampu membuat hati yang melihatnya merasa iba.
"Kita semua tahu kalau Alice sejatinya adalah gadis baik. Sesuatu yang berat pasti sedang membebani pikirannya hingga ia bertindak sesuatu yang diluar kendali seperti ini," gumam Andreas.
"Ya, tapi kenapa harus aku yang ia jadikan kambing kurban?" Balas Rafael.
Andreas memandang anaknya yang berdiri di sampingnya.
"Mungkinkah Jo Ayah dari bayi yang di kandungnya? Dan Jo pergi karena tak ingin bertanggung jawab?" Gumam Andreas.
"Jika benar demikian, seharusnya Alice bicarakan semuanya dengan jujur pada kita semua, dan kita pun tidak akan membiarkan Jo lari dari tanggung jawab. Dari pada dia harus mencari kambing hitam untuk dia sembelih, lebih baik mengejar sang terdakwa utama untuk dihukum gantung," balas Rafael dengan lirih namun nada sinis terdengar jelas saat kata-katanya terucap.
"Semoga Matthew dan Audrey berhasil menemukan Jo dan membawanya pada kita segera," sahut Andreas.
"Jika benar Jo yang harus bertanggung jawab dengan semua ini, maka dia pantas mendapatkan tinju bulatku," ujar Rafael geram dengan rahang mengeras. Suaranya meninggi dan itu membangunkan Alice yang kini terbaring di tempat tidur pasien di hadapan Rafael.
"Rafa..." lirih Alice.
Pandangan Rafael kembali menatap sosok yang terbaring lemah itu, dan pandangan mereka pun bertemu. Tatapan sendu Alices seolah menyiramkan air dingin pada emosi dan amarah Rafael yang berkobar.
"Tenangkan dia, son. Mulailah dari sekarang," bisik Andreas di telinga Rafael, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi samping tempat tidur pasien.
Dan perkataan papanya itu membuat Rafael segera menghampiri Alice, kemudian ia pun duduk di tepi ranjang pansien yang mana terdapat Alice yang sedang terbaring lemah. Mata Rafael tertuju pada wajah Alice sementara tangannya menggenggam sebelah tangan Alice yang terasa dingin dan hal itu meredam kemarahan Rafael.
Rasa iba Rafael mulai menyeruak dalam relung hatinya, kala melihat keadaan Alice beserta air mata yang menetes membasahi pipi gadis itu.
"Kenapa bertindak bodoh seperti ini?" Tanya Rafael datar.
Sebelum menjawab pertanyaan Rafael, Alice bangkit perlahan dengan dibantu Rafael, setelah posisinya nyaman dengan punggung bersandar di sandaran tempat tidur ia pun berkata.
"Aku tidak bisa hidup dengan menanggung semua beban ini, Rafa." Jawab Alice lirih dengan air mata yang tak henti menetes.
"Kita bisa bicarakan semua dengan baik-baik, dari pada bertindak bodoh seperti itu."
"Takkan ada yang mau mengerti termasuk dirimu," suara Alice semakin lirih dan hampir tak terdengar.
"Katakan padaku apa yang sebenar-benarnya terjadi jangan ada kebohongan, bicara yang sejujur-jujurnya padaku maka aku pasti akan membantumu," janji Rafael.
"Kau sudah tahu semua masalahnya, Rafa."
"Bicaralah yang sejujurnya, Alice. Kejujuranmu akan membantu menyelesaikan masalahmu."
"Ini masalah kita, Rafa. Bukan hanya masalahku. Aku hamil anakmu. Aku tidak mau kau membatalkan pernikahan kita dan aku tak mau di sini menanggung malu sendiri, sementara kau bersenang-senang dengan wanita lain di luaran sana tanpa peduli sedikit pun padaku, pada anak dan pernikahan kita, itulah masalah yang aku hadapi dan aku lebih baik mati saja dari pada harus hidup seperti ini, Rafa." Ujar Alice tangisnya semakin pecah merasa tersakiti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding
RomantizmCover: By. @HatersOfWorld *** Sequel mandiri dari cerita yang berjudul 'Love' *** "Aku akan membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin." (Rafael Verghese) *** "Ruang dan waktu tidak merubah niatku untuk menunggumu, tapi keadaan merubah niatk...