Revisi : 16 Februari 2019
Aku terpaku di depan kelas, melihat murid baru itu duduk di bangkuku. Entah aku harus menghampirinya atau meninggalkan kelas ini. Namun jika aku meninggalkan kelas tanda bel masuk telah berbunyi, tidak mungkin aku membolos saat aku belum genap seminggu bersekolah disini. Aku tidak punya pilihan selain menghampirinya.
"Aku mau duduk, lebih baik kamu kembali ke bangkumu."
"Aku perlu bicara sama kamu za."
"Udah ngga ada lagi yang perlu dijelasin. Semuanya udah jelas."
"Kamu salah paham za."
"Stop, aku ngga mau lagi denger suara kamu. Kalau kamu ngga mau pindah aku yang akan pindah."
"Oke, aku akan pergi. Tapi please, kamu dengerin aku dulu. Jangan dengerin apa yang diomongin orang lain yang bisa buat hubungan kita hancur."
"Hubungan kita udah terlanjur hancur. Semua udah selesai."
"Ga za, hubungan ini belum selesai. Dan ngga ada kata putus di antara kita."
"Tapi kamu sudah mengakhiri semuanya. Bagiku itu sama saja putus."
"Za, kamu inget janji aku? Bahwa aku akan selalu jagain kamu sampai kapanpun itu, dan aku ngga akan biarin ada satu orangpun yang akan sakitin kamu. Kalau sampai ada orang yang sakitin kamu, dia akan aku habisin sekalipun diri aku sendiri. Dan aku ngga akan mungkin melanggar janji itu." Jelasnya dengan memegang tanganku
"Pergi! Aku ngga mau dengerin kamu lagi." Bentakku dengan menghempaskan tangannya.
"He, lo ngga ngerti ya? Kalau dia bilang pergi, ya lo pergi." Bentak Farell yang entah kapan sudah ada di depan kelas.
Farell berjalan mendekati kami. Tatapannya tajam menatap Cio. Seperti akan terjadi pertengkaran antara mereka.
"Lo ngga perlu ikut campur urusan gue sama Ellza."
"Urusan Ellza, urusan gue juga." Aku tersentak saat Farell menyebutkan namaku, mungkin karena kami satu kelas ia dapat dengan mudah mengetahui namaku walaupun aku tak pernah mengatakan siapa namaku sebenarnya.
"Lo siapanya Ellza? Temen? Atau malah ngga dianggep? Gue pacarnya Ellza, jadi lo ngga berhak ikut campur urusan dia."
Farell tertawa terbahak-bahak "Pacar? Jangan mimpi lo." Ucapnya yang masih saja tertawa.
"Gue emang pacarnya dia!" Teriak Cio sambil menunjuk ke arahku.
"Hei, biasa aja lo. Gue masih bisa denger. Jangan teriak-teriak seenak jidat lo aja." Ucap Farell dengan berteriak juga.
Lantaran tidak terima Cio meninju Farell dengan sangat keras, hingga membuatnya tersungkur ke lantai. Mereka melakukan aksinya terus menerus, hingga mereka babak belur.
"Stop!" Aku berteriak berniat untuk menghentikan pertengkaran mereka tapi tidak membuahkan hasil. "Kalaian semua bantuin pisahin, jangan cuma liat aja." Teriakku lagi.
Teman-teman kelasku mengabaikan permintaanku. Yang laki-laki malah membuat keadaan semakin panas, sedangkan yang perempuan malah menyoraki Farell karena terpesona dengan ketampanannya.
"Ayo rell, hajar aja tuh orang." Teriak Jupi dengan membara-bara.
"Farell makin tambah kece aja,"
"Calon suamiku emang keren."
"Bebeb Farell semangat!"
Itulah serentetan teriakan para teman-teman kelasku yang memang mereka sangat tergila-gila dengan Farell.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless Journey [HIATUS]
Teen FictionDisaat Tuhan memberikanku sosok terindah didalam hidupku, aku sangat bahagia, aku pikir tuhan berikan yang terindah di hidupku. Tapi aku salah, sosok indah itu kini hilang. Mengapa tuhan berikan sosok orang yang menyakitiku? Apakah tuhan menguji ima...