"Keping Kelima"
"Eh, eh, coba dong liat isi amplop lu."
"Apaan sih, Dhira. Kepo banget jadi orang."
"Rathan pelit, Dhir, emang. Sini buka bareng Rena aja. Sini, sini. Nanti Rathan Rena adukan pada kepala Suku Boboho."
"Punya temen nggak ada yang waras, ya Allah."
"Situ waras?"
"Astaga, diem kenapa sehari." Aruna bangkit dari tempat duduknya dan membawa kabur tumpukan buku yang ada di atas meja. Ekspresi wajah gadis itu tampak tidak begitu baik. Seperti tisu toilet yang tidak jadi digunakan, tapi tetap dibuang ke tempat sampah.
"Ih, Runa! Jangan ngambek. Sini buka amplopnya bareng-bareng. Ratu Boboho pasti penasaran sama pendapat anak-anak di kelas tentang Runa."
"Bodo amat, Ren."
Lalu Aruna kembali berkutat lagi dengan buku berjudul 'Bumi Manusia' yang sejak tadi dibacanya. Buku Big Bank Matematika yang juga Aruna bawa, rupanya tidak begitu berguna. Toh, sekarang wujudnya hanya teronggok di atas lantai pojok ruangan. Aruna sedang tidak begitu minat untuk beradutatap dengan aljabar dan teman-temannya.
"Runa baca apa tuh?" Seseorang dengan suara lembut menghampiri Aruna dan ikut duduk di pojokan ruangan. Sebenarnya anak lelaki itu tidak sepenuhnya juga duduk karena bokongnya tidak menempel pada lantai yang dingin. Lelaki berwajah putih mulus dan superduper imut itu memerhatikan barisan kata yang ada pada halaman buku tersebut. Omong-omong, jangan berpikir macam-macam soal hubungan mereka. Cowok ini memang dekat sekali dengan Aruna, dan Aruna juga tidak akan mungkin ada 'sesuatu' dengan orang yang jiwanya 'satu jenis' dengan dia.
Itu kalau kamu bisa mengerti.
"Bumi Manusia, Fa," balas Aruna tanpa tolehan wajah.
Lelaki itu masih memandang buku yang Aruna baca dengan tatap mata penasaran. "Itu novel? Kertasnya udah kuning gitu. Genre apa, Run? Tumben banget Runa baca novel. Biasanya bawa-bawa buku bank soal mulu." Dan lelaki itu terkekeh bersama Aruna yang ikut membalas dengan perlakuan yang sama. Tak berselang waktu setelah itu, ia kembali bertanya. "Itu romance? Bukannya Runa nggak suka romance?"
Mata lelaki itu mulai beralih pada wajah Aruna di hadapannya. Tak mengherankan bila Rafa bertanya seperti itu, apalagi ketika pertama kali coba mengintip bacaan Aruna, ia langsung bertemu dengan dialog: "Sang pangeran itu datang, masuk ke istana sang putri seakan habis menang perang. Mereka berdua pun bercengkerama. Sang putri segera jatuh cinta padanya. Tidak bisa lain." Dan itu ada di halaman 356.
Tanpa Rafa sangka, Aruna menutup buku yang tadi dia baca. "Ini romance-nya beda deh, Fa. Serius. Kayak ... apa, ya. Unik. Nggak alay. Dan latarnya juga nggak zaman sekarang. Kalimatnya cakep banget, gue ampe baca berkali-kali. Cuma emang agak berat. Gue aja ampe pening bacanya." Aruna menjelaskan satu-satu dengan beberapa perubahan emosi yang tercipta, menyesuaikan setiap kalimat yang dia ucapkan.
"Terus, ya. Gue juga baca ini sebenernya gara-gara penasaran juga, katanya yang nulis dapet nobel sastra gitu or something-lah, yang jelas dia dapet penghargaan sastra kelas dunia gitu. Gila nggak, sih? Dunia, loh, Fa. Dan yang dia bawa itu ... cuma tulisan. Terus, ini biarpun ngebahas tentang sejarah, tapi asik banget. Kayak ada magic-nya dan gue kayak masuk ke zaman penjajahan itu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Di Balik Kulminasi
Aktuelle LiteraturDi balik kulminasi, berarti di balik puncak tertinggi. Jejak Inspirator kembali mengundang seorang penulis, pencipta lagu, pemilik perusahaan penerbitan, dan pendiri sekolah penyandang disabilitas, bernama Aruna Vimala. Masalahnya tidak...