Sudut Pandang Lain
***
Nyala lampu telah diterangkan dari waktu sebelumnya. Dua orang perempuan yang berada di tengah-tengah ruangan menjadi pusat ke mana kamera menyorot.
"Sebenarnya, saya bercerita bukan dari sudut pandang Aruna sendiri. Makanya di cerita barusan, justru lebih dominan melihat dari pandangan orang lain—seperti pandangan Utami ini sendiri, misalnya." Aruna tampak seakan hanya berhenti sejenak, namun wanita itu ternyata tidak melanjutkan lagi ucapannya.
Sejak nyaris delapan menit menonton tayangan ini, saya hanya terdiam memerhatikan bagaimana Aruna menjawab segala pertanyaan. Saya tahu dia telah banyak berubah. Dua puluh lima tahun pernah mengenalnya di masa lampau, jelas bukan waktu sebentar meski kami sama-sama tak saling bertemu sejak hubungan cinta monyet itu kandas saat tahun pertama SMP.
Sangat klise kalau saya bercerita kalau saya cinta lama Aruna yang dulu sempat belum usai—nyatanya, saya yang sengaja menggantungnya tanpa memberi kejelasan. Ya, baik, kalau Anda penggemar Aruna, tolong jangan hujat saya karena ternyata saya ini salah satu bagian dari nama yang terpampang di buku itu.
Buku yang mana, Anda bertanya?
Biarkan saya tertawa sebentar. Saya tahu kalau Aruna tidak menceritakannya dalam wawancara di salah satu stasiun ternama itu. Lagi pula itu masih perjalanan hidupnya di masa SMP. Masih terlalu jauh untuk membahas tentang rahasia terbesar dari titik kulminasi ini. Pun, saya tidak merasa heran sama sekali kalau pun ia tak bercerita. Dia pasti bisa dengan mudah memilah topik yang tepat untuk disuguhkan langsung kepada media.
Eh, apa lagi?
Siapa saya, Anda bertanya?
Tidak perlu salah fokus ke ranah pembahasan itu. Tugas kita di sini membahas kisah Aruna, bukan saya.
"Terkadang, dijatuhkan justru malah menjadi guru terbaik bagi kita yang pernah terpuruk. Penghinaan yang menyakitkan mungkin sama sekali tak berguna untuk dipikirkan, tapi Aruna mampu dengan amat baik mengolahnya, menjadikan penghinaan itu sendiri amunisi untuk menyerang balik mereka yang pernah mengejek. Jejak dan seluruh masyarakat Indonesia sendiri mungkin, sama-sama pernah merasakan hal yang sama juga. Indonesia bangga punya Aruna Vimala. Kami bangga punya wanita hebat dengan kebesaran hati yang luar biasa."
Aruna tampak tertawa. Saya katakan begitu karena matanya tak ikut mendukung hal yang sama. Segmen wawancara terbuka dijeda, instrumen musik diperdengarkan. Setelah menunggu hingga kurun waktu yang tidak sebentar, acara itu kembali dimulai lagi. Tidak heran bila durasi iklannya cukup lama, pendapatan dapat dialirkan dari sana karena acara ini tentu sudah ditunggu oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang menjadi penggemar berat Aruna. Saya berada di antaranya, meski dalam konteks yang berbeda. Aruna telah membangun rumah tangga dengan lelaki pilihannya dan begitu pula saya dengan wanita pilihan saya.
"Mas, iki panganane wis masa'."
"Yo, ben. Nanti mas ke sana sebentar lagi."
"Tadi Aruna sudah menceritakan pengalaman Aruna dari sudut pandang teman-teman Aruna sendiri. Jujur aja, Jejak dan mungkin masyarakat Indonesia lain pasti merasa penasaran tentang bagaimana pandangan Aruna mengenai hal ini. Nah, kira-kira gimana sih perasaan Aruna ketika menghadapi semua itu? Apalagi dari cerita yang barusan Aruna jelaskan, pasti nggak satu-dua kali, 'kan hal itu terjadi?"
Senyum di bibir Aruna menipis sedikit, namun pandangannya masih teduh seperti sebelumnya. Mendadak catatan di buku itu kembali terbayang di otak saya. "Kendalikan emosi." Saya tersenyum sejenak.
"Sebenarnya, saya sengaja menceritakan dari sudut pandang orang lain untuk di bagian ini. Kalian pasti tau, kebanyakan pemikiran anak SMP yang tak paham apa-apa mengenai makna cinta itu sedikit tidak baik untuk diceritakan—apalagi acara ini ditonton hampir seluruh masyarakat Indonesia. Tontonan yang berkualitas adalah yang tidak membawa pada keburukan, baik itu untuk anak-anak maupun kalangan lain. Jadi, keputusan itu tidak asal pilih hanya karena saya tidak berani membeberkan masa lalu atau lainnya."
Pembawa acara itu terdiam sejenak, suasana pun menjadi agak lengang. Senyum Aruna masih terpatri di wajahnya, pun senyuman pembawa acara itu meski sedikit lebih tipis daripada sebelumnya. Tak beberapa lama setelah itu, Aruna kembali bersuara.
"Pada bagian selanjutnya, saya akan menceritakan dari sudut pandang Aruna remaja. Masa SMA dirasa sedikit lebih baik daripada SMP yang masih terlalu absurd. Ayolah, siapa yang tidak malu kalau lelucon zaman norak harus diceritakan ke publik? Jejak pasti paham maksud saya." Wanita itu terkekeh sebentar, mengundang gelak tawa dari penonton di acara tersebut.
"Yah, seperti yang Jejak prediksi." Wajah pembawa acara itu tampak seperti kembali teraliri darah. Mentalnya cupu sekali. Padahal Aruna baru menegur sehalus itu. Saya tahu maksud Aruna. Saya paham karena acara ini terlalu banyak meminta. Apalagi Aruna bukanlah tipe wanita yang suka mengumbar privasinya—itu dari yang saya baca di kebanyakan artikel yang tersebar di internet.
"Bagian selanjutnya agak berat, eh sebenarnya tidak terlalu berat juga. Tapi mungkin nggak seringan sebelumnya. Di masa SMA ini, mulai dari kelabilan, rangkak Aruna menuju dewasa, mimpi-mimpi Aruna yang dia bangun di singgasana imajinasi. Pergaulan Aruna juga jelas berbeda, dan yah, pasti kamu bisa menebak selanjutnya gimana."
Pembawa acara itu mengangguk takzim. Matanya berkilat antusias menunggu Aruna kembali melanjutkan ceritanya.
"Aruna yang terlalu payah, lemah, bermental bubur hanya kar'na ditolak laki-laki, mulai percaya kalau mitos, bahwa nama bisa bawa bejo atau sial pun berpikir, jangan-jangan, nama panggilan 'Mala' itu malah membawa ke-mala-ngan di kehidupan remajanya," Aruna memulai ceritanya lagi. Kamera menyorot sejenak ke para penonton, semuanya tampak serius memerhatikan kisah tersebut.
"Mala pun berpikir mulai mengganti dengan nama panggilan lain. Yang lebih kuat, lebih tegar, lebih membawa kesan menenangkan. Mala memilih nama depannya. Aruna. Aruna berarti pagi, fajar. Pagi membawa kesegaran, semangat yang masih meletup. Dan dengan itu, Mala mendeklarasikan pada orang rumah, bahwa nama panggilannya yang sekarang adalah Runa. Bukan lagi Mala."
Dengan itu, lampu di studio tersebut kembali diredupkan. Alunan musik piano yang tadinya dimainkan secara larghetto kini menjadi largo—dari yang tadinya agak lambat, menjadi sangat lambat. Tidak ada suara manusia lain kecuali Aruna seorang.
"Kurang lebih, bagian selanjutnya adalah seperti ini...." []
-way, 27/3/16
iki panganane wis masa' : ini masakannya sudah matang
Yo, ben: Ya, biar
Larghetto: kalau dalam musik, ini tempo yang agak lambat gitu.
Largo: kalau dalam musik, ini tempo yang sangat lambat.
Wohooo. Padahal niatnya cuma mau bikin 3 part hahaha tapi ku ketagihan. Entah, enak sekali nulis cerita ini, pembawannya, suasananya, bikin adem gitu. Dibanding nulis "Biru Tosca" yang harus menguras emosi, pikiran, tenaga, kemampuan, semua. Huhu.
Btw, terima kasih sudah membaca :) semoga bisa menginspirasi. yehe.
Salam literasi,
_wandateguh

KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Di Balik Kulminasi
Ficción GeneralDi balik kulminasi, berarti di balik puncak tertinggi. Jejak Inspirator kembali mengundang seorang penulis, pencipta lagu, pemilik perusahaan penerbitan, dan pendiri sekolah penyandang disabilitas, bernama Aruna Vimala. Masalahnya tidak...