Menyelami Kisah
Bocah SMP Keras Kepala
***
"Mengingat bagaimana rekam jejak Aruna ketika masa SMP dulu, bukankah perubahannya terlalu kontras bila dibandingkan dengan sifat Aruna ketika Aruna menceritakannya barusan? Maksudnya, yah, Aruna pasti paham. Bukannya terlalu mengejutkan kalau Aruna yang sedikit, uhm, melankolis, mendadak riang begitu saja, seakan melupakan kejadian masa SMP-nya dahulu?" Pertanyaan itu kembali diulang lambat-lambat. Seakan berharap agar semua penonton yang menyaksikan, bisa menikmati setiap sensasinya dengan jantung yang berdegup.
Kamera mulai menyorot ke arah penonton. Lampu di sisi penonton jelas lebih redup dari pada sisi panggung sendiri. Aruna dan si pembawa acara seakan menjadi pusat rotasi bagi planet-panet—barisan penonton—yang mengelilingi panggung itu dengan formasi setengah lingkaran. Suara piano mengalun lebih lambat.
"Seperti yang telah kita ketahui bersama, manusia selalu berubah dan bertumbuhkembang. Manusia akan selalu bergerak dan berpindah, tidak bisa hanya stagnan tanpa usaha—bahkan waktu sendiri yang bukan bagian dari makhluk, selalu bergerak tanpa kenal lelah," Aruna memulai dengan pembuka. Intonasinya yang terjaga, menarik mata siapapun untuk terus menunggu kalimat selanjutnya.
"Aruna Vimala juga seperti itu. Aruna juga manusia biasa. Dia juga punya kecenderungan untuk berubah, berpindah, bergerak, bertumbuhkembang; Aruna punya cara sendiri untuk melindungi perasaannya yang pernah pecah." Kalimat terakhir yang diucapkan Aruna seakan menjadi petir jutaan volt yang menyambar pembawa acara itu. Beberapa penonton tersenyum seakan berkata tanpa suara dengan bangga, "Ini baru Aruna Vimala yang saya tahu."
"Seperti yang mungkin bisa teman-teman prediksi, apa yang Aruna alami saat SMP hanyalah sebuah obsesi yang sebenarnya masih belum berarah. Jadi, itu semua wajar, kalau Aruna cepat sekali kecewa dan cepat sekali kembali pulih.
"Lagi pula sesungguhnya, Aruna juga tidak langsung pulih tanpa terpuruk. Setelah acara pelepasan siswa kepada orangtua, ada jeda libur panjang hingga akhirnya masuk tahun ajaran baru. Dalam jeda itulah, Aruna mulai meratap, akan seperti apa ia setelah masuk SMA nanti—dan saya rasa, itu semua wajar. Apalagi mengingat jiwa Aruna yang saat itu masih labil-labilnya, tentu ada kecenderungan bagi dirinya untuk memperbaiki sikap, agar tak lagi masuk dalam jurang yang sama."
Kamera menyorot dekat pada eksistensi Aruna saat menjelaskan jawaban itu. Fokus hanya ditujukan pada titik tersebut. Tidak terbagi; sama sekali.
"Luar biasa," si pembawa acara berkomentar. Matahari nyaris lenyap dari peraduan, tapi atmosfer dalam ruangan mendadak jadi memanas. "Pribadi memang bisa diubah dalam waktu yang paling lama, atau mungkin singkat sekalipun, tentu itu bergantung kembali pada bagaimana sikap si subjek yang mau berubah.
"Tapi omong-omong, mengingat memori sebelumnya, soal Aruna yang mendapat peringkat pertama nilai UN dalam waktu persiapan yang hanya satu bulan, apa itu juga bagian dari pilihan Aruna sendiri untuk berubah sebelum dihempas? Maksud Jejak, bukannya itu luar biasa sekali ya, Pemirsa,"—si pembawa acara mengalihkan pandangannya pada kamera yang menyorot, seakan mengajak bicara pada penonton yang menyimak—"bisa mendapat pencapaian yang gemilang, tanpa, yah ... amunisi yang cukup mutakhir."
Aruna mengulas senyum. Ada keanehan dari senyum yang menghadap pada pembawa acara itu. Tatap mata mengarah ke sana tapi seakan kerontang tanpa isi. Wanita itu mengembuskan napas. Senyumnya masih pekat. Dan lampu masih fokus pada eksistensi di mana ia bertempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Di Balik Kulminasi
General FictionDi balik kulminasi, berarti di balik puncak tertinggi. Jejak Inspirator kembali mengundang seorang penulis, pencipta lagu, pemilik perusahaan penerbitan, dan pendiri sekolah penyandang disabilitas, bernama Aruna Vimala. Masalahnya tidak...